Warteg (warung tegal) ini legendaris di Tebet. Dirintis sejak 1969 saat di Jakarta masih jarang Warteg 24 jam. Warmolah perintisnya. Sebagai warga seliweran Tebet, tentu aku sesekali makan di Warmo. Yang ternyata bukan nama pemiliknya.
Beberapa teman menganggap nama Warmo adalah nama pemilik warteg tersebut. Ternyata bukan. Warteg tersebut kini dikelola oleh generasi kedua, anak dari pendiri Warmo. Pendirinya adalah kakak beradik asal Sidakaton, Tegal yaitu H. Dasir dan H. Tumuh. Lah, lalu Warmo itu siapa? Kenapa namanya Warmo?
Sebelum buka warteg, H. Dasir dan H. Tumuh kerjanya jadi tukang becak. Namun mereka mencoba jualan nasi. Lah, kok laku. Itu kejadian masih belum di Tebet. Ada yang cerita awalnya di bilangan Roxy, Jatinegara, ada juga yang bilangnya sekitaran Monas. Namun akhirnya mereka punya tempat strategis di Tebet. Lokasi persisnya pas di perempatan. Di pojokan lampu merah Jl. Tebet Raya No. 1D.
Warmo itu nama yang tercetus kebetulan aja. Konon ada karyawan H. Dasir yang bernama Warmo. Dia makin dikenal sama pelanggannya. Dan karena posisi warteg itu pas di pojokan, jadilah Warmo sebagai akronim “Warung Mojok”.
“Oh, jadi Warmo itu bukan nama pemilik warteg yang selalu rame pengunjung terutama pas makan siang?”
Iya, bukan.
Makan di Warmo tuh harganya ya standar warteg. Kemarin siang aku makan nasi karo oreg, karo labu siam, karo ati-ampela, tambah es teh manis, cuma 23 ribu.
Ini aku makannya di meja bagian luar, pas di tepi jalan perempatan (lampu merah). Aku sih lebih suka duduk di bagian sini karena ada angin sepoi-sepoi. Bukan angin yang menyebabkan tragedi Kanjuruhan di Malang. Lagi pula di area dalam, kan lebih sering penuh. Jadi ini adalah spot favoritku kalau makan di Warmo.
Hoaks Warmo
Pernah ada temanku yang bilang, dia gak bakal mau makan di Warmo karena ada kabar selentingan kalau warteg tersebut pakai mejik (magic: ilmu pelaris) biar laku keras. Ia pun menceritakan berbagai indikasi kecurigaannya.
Cerita-cerita kayak gini tuh susah dibuktikan kebenarannya. Karena itu aku menanggapi cerita seperti itu laksana hoaks. Di Gotham City sering banget muncul cerita semacam itu yang ditujukan ke warung atau toko yang ramai pengunjungnya.
Beberapa waktu lalu di Pekanbaru aku dan teman buka puasa di Sate Padang dekat Tugu Keris. Murah meriah dan enak juga memang. Apa lagi es kelapa muda yang ada di sebelahnya. Nah, saat aku cerita enaknya sate padang itu, ada sekira 3-4 teman di sana yang bilang kalau saya makan sate jin. Lho? Koq begitu? Konon katanya, warung itu laku karena pakai mejik, ada juga yang bilang karena dekat kuburan (Taman Makam Pahlawan).
Itu satu contoh. Teman-teman mungkin juga punya cerita tentang pedagang yang dianggap pakai mejik sehingga jualannya laris manis tanjung kimpul barang habis duit ngumpul.
Menurutku cerita-cerita seperti itu tak perlu dianggap benar. Why? Karena memang sulit untuk membuktikan kebenarannya. Lalu apakah aku tetap makan sate jin, bakso tuyul, dan termasuk Warmo?
Ya, tetap makanlah. Yang penting sebelum makan tetap berdoa. Kalau kita yakin dengan doa, insyaAllah akan menjadi berkat buat kita maupun buat orang-orang yang menyediakan makanan kita.
Jadi kapan kamu ke Warmo lagi? Ajak-ajak aku, ya!
Leave a Reply