Tiba-tiba muncul live Tiktok di feedku. Ada ibu-ibu yang berendam di kolam sambil mengguyur badannya, ada yang mandi lumpur, bahkan mengeksploitasi anak-anak. Padahal sebelumnya aku tak pernah memberikan like pada konten begituan, tapi begitulah algoritma Tiktok.
Aku sih males banget melihat konten yang memaksa kita agar bersimpati atau berempati dengan cara live di Tiktok. Tapi karena beberapakali muncul, jadi kepikiran: Kreator berulang-ulang melakukan kenaifan yang membosankan dan mereka dapat cuan. Kenapa semudah itu cari cuan? Kenapa juga ada yang nyawer untuk konten yang gitu-gitu?
Rupanya netizen juga banyak yang gerah dengan konten ngemis di Tiktok. beberapa orang sampai mention Ibu Risma menteri sosial, KPAI, dan Kementerian Kominfo agar memblokir konten mendulang cuan dengan cara live ngemis. Netizen anggap ini persoalan mentalitas pengemis yang juga harus ditapis di media sosial, khususnya Tiktok.
Melaporkan konten ngemis tidak cukup dengan mengandalkan pemerintah. Kita perlu menyisihkan sedikit cuan waktu untuk nge-flag (melaporkan) konten tersebut ke platform. Hampir semua media sosial memiliki community guide. Tiktok pun punya. Nah, jika kita tak menyukai suatu konten, langsung saja laporkan/flag agar menjadi perhatian platform.
Semua Demi Cuan
Tren ngemis dilakukan ya cuma demi cuan. Mereka nggak bakalan bikin konten edukasi apalagi konten inspiratif. Mereka tahu netizen +62 gampang banget bersimpati dan berempati. Bisa dibilang netizen kita murah hati. Mereka bisa saja nyawer beberapa koin untuk Live Tiktok yang amat tidak logis itu. Sadar sih, tindakan yang dilakukan karena empati biasanya memang menafikan logika. Ada yang karena kasihan melihat nenek-nenek menggigil karena sudah sejam live mengguyur badannya dengan air dan lumpur. Ada juga yang cuma karena membaca “mohon koinnya untuk makan hari ini!” dalam salah satu live Tiktok.
Tapi kenapa ada yang nonton? Boleh jadi yang nonton juga ada beberapa pemburu cuan karena bonus nonton. Lho bisa gitu nonton video Tiktok dapat cuan? Saat aku gugling soal ini memang ada sih. Cukup menonton video berdurasi 15-30 menit bisa dapat 2.000 koin. Kalau nonton 5 menit dapat 7.000 koin, dan seterusnya.
Jadi kreator konten maupun penontonnya sama-sama demikian cuan. Ya, siapa sih yang tak tergiur cuan. Dari kalangan borjuis sampai proletar, sama-sama butuh cuan. Makanya di mana ada cuan, di situ ada pemburunya. Bahkan ada juga makelarnya.
Ada kecurigaan juga kalau orang tua, kakek-nenek, orang miskin, yang ngemis di Tiktok diorganisir sama makelar (baca: agency). Nah, kalau sampai begini…. gokil sih. Tega nggak sih mereka mempekerjakan orang tua demi cuan? Ya, ini debatable sih. Ada yang bilang tega ada juga yang mencoba mengerti kalau talent² orang miskin itu juga butuh uang untuk makan, untuk biaya pendidikan, untuk beli iPhone baru…. dst.
Siapapun punya hak berekspresi, punya hak atas cuan. Di zaman digital, mereka melihat peluang untuk mengemis tak cuma di offline tapi juga bisa bertransformasi ke digital. đŸ˜› Namun kita juga perlu mempertimbangkan kepantasan. Kalau merasa tak pantas membuat konten gitu-gitu, buatlah yang lebih pantas.
“Tapi justru konten yang gitu-gitu yang FYP, bro!!!” sergah Mat Kudil.
Owyawis. Selamat berekspresi di zaman digital. Semoga kontenmu sering FYP dan dapat cuan.
Leave a Reply