Bukan Oknum, Sebut Saja Bajingan

Setiap kali ada kasus pelanggaran hukum yang melibatkan aparat negara—baik polisi, tentara, pejabat, anggota DPR, maupun kader partai politik—media dan pejabat sering kali menggunakan istilah oknum untuk merujuk kepada pelaku. Kata ini seolah menjadi tameng yang menjaga citra institusi dari keburukan individu-individu yang seharusnya bertanggung jawab. Namun apakah penggunaan istilah ini benar-benar menjaga nama baik atau justru menjadi kedok untuk menutupi masalah yang lebih dalam?

Kita bisa melihat bagaimana kata oknum digunakan untuk meredam dampak buruk dari kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dalam institusi tertentu. Dalam kasus aparat kepolisian dan militer, misalnya. Banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, mulai dari tindakan kekerasan, suap, pemerasan, hingga keterlibatan dalam bisnis ilegal seperti narkoba dan perdagangan senjata. Namun media dan pejabat hampir selalu mengatakan bahwa itu hanya ulah oknum, seolah-olah kejadian tersebut berdiri sendiri dan bukan bagian dari persoalan yang lebih besar, seperti korupsi di tubuh institusi atau penyalahgunaan wewenang yang sistemik.

Hal serupa terjadi dalam dunia politik dan pemerintahan. Korupsi yang merugikan negara miliaran hingga triliunan rupiah sering kali dikaitkan dengan oknum pejabat atau oknum anggota DPR. Padahal ketika korupsi terjadi secara berulang di lembaga yang sama, jelas bahwa ini bukan hanya masalah individu, melainkan ada celah dalam sistem yang memungkinkan perilaku itu terus berlangsung. Begitu juga dengan partai politik, di mana skandal suap atau tindakan kriminal lainnya kerap direspons dengan pernyataan bahwa itu hanya ulah oknum dan tidak mencerminkan partai secara keseluruhan. Padahal dalam banyak kasus, ada pola yang menunjukkan bahwa praktik-praktik semacam itu sudah menjadi kebiasaan dalam partai, bukan hanya perilaku individu semata.

Penggunaan istilah oknum membuat pelaku tampak seperti pengecualian, padahal dalam banyak kasus, mereka hanyalah gejala dari penyakit yang lebih besar di dalam institusi tersebut. Kata ini digunakan untuk menciptakan jarak antara individu yang berbuat salah dan institusi yang menaunginya, seolah-olah institusi tetap bersih meskipun banyak anggotanya melakukan pelanggaran.

Daripada terus-menerus menggunakan istilah oknum untuk menyamarkan kejahatan, lebih baik kita menggunakan istilah yang lebih jelas dan tegas. Salah satu kata yang paling tepat adalah bajingan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata bajingan memiliki dua makna utama: pertama, orang jahat, penjahat, atau bandit; dan kedua, dalam bahasa Jawa, berarti penggembala sapi atau kerbau yang berpindah-pindah. Dalam konteks sosial dan politik di Indonesia, makna pertama lebih sering digunakan. Kata ini mencerminkan karakter seseorang yang tidak bermoral, merugikan orang lain, dan bertindak semaunya tanpa memikirkan konsekuensi.

Daripada terus menerus menggunakan istilah abu-abu seperti oknum, lebih baik kita sebut langsung sesuai dengan tindakan mereka. Polisi yang menyalahgunakan wewenang adalah polisi bajingan. Pejabat yang merampok uang rakyat adalah pejabat bajingan. Tentara yang menindas warga sipil adalah tentara bajingan.

Jika kita ingin membangun masyarakat yang lebih transparan dan bertanggung jawab, kita harus meninggalkan kebiasaan menutupi kenyataan dengan bahasa yang berputar-putar. Polisi yang korup bukan oknum polisi, tetapi polisi bajingan. Pejabat yang mencuri uang rakyat bukan oknum pejabat, tetapi pejabat maling. Keterbukaan dan kejujuran dalam berbahasa adalah langkah pertama untuk membangun kesadaran kritis di masyarakat. Media, akademisi, dan tokoh masyarakat harus berani mengatakan yang sebenarnya tanpa takut kehilangan dukungan atau menghadapi tekanan politik. Selama ini bahasa eufemisme seperti oknum hanya membuat publik terlena dengan ilusi bahwa masalah yang terjadi hanyalah kesalahan individu, bukan kegagalan sistemik yang membutuhkan perubahan mendasar.

Atau jika terlalu banyak istilah untuk menyebut mereka yang jahat itu, satukan saja semuanya dalam satu istilah: bajingan. Polisi yang korup? Bajingan. Pejabat yang maling? Bajingan. Anggota partai yang bermain proyek? Bajingan. Dengan menyederhanakan istilah ini, kita bisa lebih jelas dalam mengenali siapa yang benar-benar merusak negeri ini dan tidak lagi tertipu oleh bahasa eufemisme yang menyesatkan.

Saatnya kita bicara jujur. Tidak perlu lagi bersembunyi di balik kata-kata yang halus demi menjaga citra lembaga atau institusi. Yang rusak harus diakui rusak, yang bejat harus diakui bejat. Jika kita terus membiarkan bahasa menutupi kenyataan, kita hanya akan semakin jauh dari perubahan yang sebenarnya. Blak-blakan bukan berarti kasar, melainkan sebuah keberanian untuk berkata benar. Dan di negeri yang sudah terlalu lama dihuni oleh bajingan berkedok oknum, keberanian untuk berkata benar adalah awal dari perlawanan.


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.