Tertarik menonton Pompeii karena teringat buku Leap Through Time: Volcano yang ditulis Nicholas Harris dan digambar oleh Peter Dennis. Buku ini menggambarkan kota Pompeii yang terkubur akibat letusan Gunung Vesuvius pada 24 Agustus 79 SM. Kota Pompeii dilengkapi dengan keindahan alam dan kemolekan gedung dan patung, akhirnya hancur seketika kala Gunung Vesuvius meletus. Dulu, ketika membaca buku tersebut, terbetik di kepala, “Andai ada film dengan visualisasi kota Pompei dan Letusan Gunung Vesuvius, pasti menarik untuk ditonton.” Ternyata perandaianku jadi kenyataan.
Film berlatar sejarah negeri selalu menarik buatku. Sebelumnya, 47 Ronin berhasil menarikku kembali memasuki ruangan bioskop. Pompeii pun demikian. Aku penasaran melihat penggambaran kota Pompeii, bangungan yang indah, colloseum yang megah, dan bagaimana kota tersebut terkubur. Rasa penasaranku itu terbayar. Bahkan lebih dari itu, alur cerita dalam film ini pun menarik. Berkesan!
Di awali dengan kebiadaban tentara Romawi pimpinan Corvus (Kiefer Sutherland) terhadap suku Berkuda. Pembantaian itu menyisakan seorang bocah bernama Milo. Beranjak dewasa, Milo (Kit Harington) menjadi budak yang dipekerjakan sebagai Gladiator. Saat dibawa ke Pompeii oleh majikannya, ia mendapatkan kesempatan untuk menumpahkan amarahnya kepada Kekaisaran, terutama kepada Senator Corvus.
Menurutku dialog antara Milo dan Atticus (Adewale Akinnuoye-Agbaje), seorang Gladiator yang menanti janji penguasa cukup menarik untuk dihikmahi orang Indonesia. Atticus adalah Budak-Gladiator tak terkalahkan, yang menantikan pertarungan tunggal dengan bayaran kemerdekaan dirinya jika menang. Kebebasan adalah impiannya. Namun Milo menegaskan bahwa penguasa sangat mudah mengingkari janji. Benar! Atticus tak mendapatkan apa yang telah dijanjikan Penguasa Roma kepadanya. Ia pun memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaannya sendiri dengan perlawanan. Ya, perlawanan adalah cara yang paling masuk akal menghadapi penguasa despotik.
Dialog antara Cassia (Emily Browning) dengan Senator Corvus juga inspiratif.
“Who exactly is that slave to you?” ~ Senator Corvus
“Everything that you’re not, Senator.” ~ Cassia
Senator, pejabat, orang parpol, atau apalah namanya, pokoknya yang dekat dengan kekuasaan, kerap dirasuki kelicikan untuk memuaskan kerakusannya. Mereka hanya mencari pujian pemimpin, meskipun sebenarnya mengkhianati pemimpinnya juga. Terhadap kaum lemah, ya tabiatnya sama saja: menindas!
Perlawanan orang-orang yang tertindas dipicu oleh kelicikan sang penindas. Itu menjadi potongan akhir film ini, ketika Atticus, Milo, dan beberapa gladiator lainnya dirantai untuk dibantai oleh pasukan khusus yang dimiliki sang penindas. Saat terjadinya pembantaian dan perlawanan itulah Gunung Vesuvius meletus. Dimulai dengan gempa, muntahan lahar, serpihan api dan bebatuan, dan tsunami yang menakutkan. Pompeii hancur ketika orang-orang tertindas sedang berjuang mempertahankan martabatnya, melawan penindas.
Bencana alam menuntaskan segala kisah yang ada di Pompeii. Bangunan hancur. Tanah memecah mengubur semua yang ada di atasnya. Air bah melengkapi derita. Sang penguasa tak berdaya melawan kuasa alam. Sang penjilat dijilat muntahan api. Kaum bangsawan yang rakus, dilahap tsunami. Bahkan semua sirna. Bencana tak pernah mengenal siapa yang baik dan siapa yang pendosa. Semua mati, pun Milo dan Cassia. Tak ada yang tersisa dari film ini kecuali pesan yang menancap di kepala.
“Some prayed for help. Many wished for death.
But in the city forever lost, the greatest secret still waits.” ~ Lucretius
Leave a Reply