Namanya Nadirin. Dulu aku memanggilnya Nadir Makarim, saat ia masih menjadi mitra terapis pijat Go-Massage. Saat Pandemi COVID-19 pekerjaannya hilang. Lalu ia bekerja serabutan demi memenuhi kebutuhan istri dan susu anaknya yang berusia 18 bulan. Lama ia tak berani membuka jasa pijat hingga saat pemerintah memutuskan PILKADA jalan, ia pun nekad mijet demi anak-istri.
“Saya udah berapa bulan gak punya penghasilan. Orang² takut Corona. Saya juga takut ketularan. Katanya gak boleh kumpul-kumpul tapi pemerintah malah ngadain pilkada. Ya udahlah, saya nekad aja. Emang pemerintah mikirin nasib saya!” ungkapnya sambil memijet kakiku.
Aku tertawa saat menerima pesan whatsapp Nadirin. Sebelumnya pernah aku menelponnya sekira bulan Juni 2020. Saat itu dia masih di kampungnya, Bumiayu karena tak bisa mijet. Tapi akhirnya ia buka layanan. Mantap! Pikirku, meskipun aku baru bisa memanggilnya kemarin sebab masih kelayapan ke Medan dan Bandung.
Saat kutelepon, kupastikan dulu apa yang dia siapkan untuk buka layanan. Ia menjamin dirinya sehat, pakai masker, bawa hand sanitizer. Setibanya di tempatku, seperti biasa –sebelum Covid19– ia permisi ke kamar mandi untuk bersih diri, cuci tangan pakai sabun, cuci muka, baru meracik minyak pijet. Bahkan ia bawa air mineral sendiri. Tak mau membebankan minuman ke pelanggan.
Aku banyak bertanya soal nasibnya selama Pandemi. Ia bercerita, meski tak semua kutulis di sini. Intinya nelangsa. Rakyat jelantah macam Nadirin ini mungkin tak pernah terpikirkan sama pejabat² yang hanya serius memikirkan politik. Mereka mikirin dampak Pandemi pun dengan kalkulasi politik.
“Menurut mas MT gimana soal Pilkada tetap jalan padahal kita harus jaga jarak?” tanyanya. Aku jawabnya bingung. Kubilang saja…
Kebutuhan orang kan beda-beda. Yang butuh makan cari makan, yang butuh kekuasaan ya cari kekuasaan. Kalo aku butuhnya mijet.
Nadirin terkekeh dengar jawabanku meskipun tetap #pakaimasker
Sejujurnya, awalnya ia takut tertular Corona sebab pekerjaannya menuntut bertemu dengan orang yang beragam dan tak tahu jejak perjalanannya. Iapun “nrimo” saat harus mematuhi protokol kesehatan yang tentunya berdampak pada pekerjaannya. Bagaimana mungkin ia bisa memijat jika harus jaga jarak.
Bayangkan, Malih! Hingga tengah September 2020 ia dapat penghasilan dari mana? Kerja serabutan pun susah. Geliat perniagaan rakyat pun mengalami dampak pandemi. Sempat jualan bawang, tapi hasilnya gak seimbang.
Tapi lama kelamaan dirinya tertantang untuk nekad bekerja sesuai skill-nya. Apa lagi melihat kelakuan orang² di televisi yang tetap kumpul hingga puncaknya keputusan tentang Pilkadut. Bukan cuma dia. Beberapa teman sejawatnya pun mengikuti langkahnya nekad buka layanan kembali.
“Nggak takut nanti jadi klaster pijet?” tanyaku bercanda. Terserah aja. Klaster kementerian aja ada, klaster perkantoran, saya mah pasrah deh dari pada gak bisa beli makanan buat anak-istri saya.
Aku susah ngomong lagi deh. Selama Covid-19 ini aku sering bertemu langsung dengan rakyat jelantah. Sopir angkot, sopir taksi, ojol, tukang indomie, kuli panggul di pasar, seniman, premn terminal, tukang parkir, pelayan cafe, staf ahli menteri, gubernur, dan nadirin, tukang pijet. Obrolan dengan mereka yang apa adanya sejujurnya membuatku lebih khawatir terhadap kelanjutan hidup keluarga rakyat jelantah. Orang-orang kelas atas mana peduli kalau bantuan sosial itu tak semuanya sampai ke tangan rakyat jelantah. Bahkan kita sama-sama tahu, ada bansos yang salah orang.
Begitulah kisah Nadir Makarim eh Nadirin yang tetap mijet dengan menerapkan protokol ketakutan. Kamu yang mau pesan jasanya, silakan. Wasap aja ke +62 877-7433-2131. Btw, kerokannya enak!
Leave a Reply