Tak sedikit orang ternganga saat mengetahui bahwa calon pengantin (sebutan untuk pelaku bom syahid) yang ditangkap di Bekasi adalah seorang perempuan. DNY berumur 27 tahun, belum lama menikah, lalu siap meninggalkan surat wasiat menjemput kematian melalui rencana bom syahid (dalam sebutan umum: bom bunuh diri).
Peran DNY dalam rencana pemboman yang diduga diotaki oleh Bahrun Naim melalui online coordination itu sekaligus membuktikan pernyataanku beberapa bulan sebelumnya, ketika teman-teman aktivis perempuan menganggap korban dari terorisme adalah perempuan. Seorang anggota teroris yang ditangkap, yang mati, tentu akan mengorbankan perempuan, yakni istri sebagai janda, yang harus melanjutkan hidup bersama anak-anak yang ditinggalkan suaminya. Anggapan tersebut saat itu kusanggah. Bagi keluarga korban pemboman, anggapan tersebut bisa dibenarkan, tetapi bagi keluarga pembom, anggapan seperti itu salah.
Perempuan di kalangan jihadis bukan perempuan lemah yang tidak siap menerima kematian suaminya. Para perempuan jihadis justru mengamini rencana suaminya menuju kematian, sebab begitulah doktrin yang membentuk pemahamannya selama ini. Kita boleh saja iba melihat mereka menjadi janda teroris, tetapi mereka malah bangga menjadi janda seorang mujahid, bahkan bila perlu anak-anaknya melanjutkan jalan hidup ayahnya sang mujahid.
Para perempuan kaum jihadis adalah perempuan yang siap ditinggal mati, bahkan siap mati bila tiba saatnya ia mendapatkan tugas khusus. Bagi mereka, tugas mulia tak memandang gender. Perempuan atau lelaki harus selalu siap untuk tugas yang mereka terima. Jika ditugaskan untuk berperan dalam mendidik anak saja, akan dilakukan sebagai jihad. Jika ditugaskan berjualan untuk mendapatkan dana operasional, akan dilakukan sebagai jihad. Apapun, akan dilakukan sebagai sebuah jihad, termasuk melakukan bom bunuh diri.
Apa yang membuat mereka sesiap itu? Itulah yang namanya pembinaan rutin, yang pada zaman non-internet biasa dilakukan sekali setiap pekan, pada saat ini bisa berlangsung setiap saat selama terkoneksi dengan grup chatting. Jika pembinaan yang seminggu sekali saja membuat mereka begitu kuat semangat juangnya, apalagi jika terjalin setiap saat. Bayangkan sendiri, deh. Jangan ajak saya sebab saya sih mending nyeduh kopi.
Dari penjelasan di atas, kukira teman-teman aktivis perempuan yang sebelumnya mencemooh para lelaki jihadis sebagai lelaki tak bertanggungjawab tersebab mengorbankan istrinya, hendaknya mengubah persepsinya. Bagi kita boleh jadi persepsi tersebut benar tetapi tidak untuk kalangan mereka. Para perempuan jihadis tak akan pernah menyebut suaminya tak bertanggungjawab. Mereka malah bangga menjadi janda seorang mujahid dan bahkan ingin pula melakukan hal yang sama dengan suaminya. Lha, kalau itu terjadi, bagaimana nasib anak-anak mereka?
Dititipkan kepada Tuhan…
Leave a Reply