“Bung Karnolah satu-satunya yang tegas-tegas mengucapkan philosofische gronslag (dasar pemikiran) untuk negara yang akan dibentuk, yaitu lima sila yang disebut Pancasila,”
~ Muhammad Hatta, Sumber: Tirto
Seperti kita ketahui lewat catatan sejarah, sebelum Indonesia merdeka diproklamasikan para tokoh bangsa duduk bareng merumuskan apa yang menjadi dasar pembentukan negara ini. Diskusi tersebut dipicu oleh pertanyaan Dr. (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat saat membuka sidang pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945. “Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?” Tanya Radjiman.
Pertanyaan penting itulah yang dipikirkan dan didiskusikan setiap hari oleh para tokoh bangsa hingga puncaknya pada 1 Juni 1945 Sukarno menyampaikan pidato yang akhirnya disepakati sebagai dasar pemikiran dibentuknya negara Republik Indonesia.
“Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.“
~ Petikan Pidato Sukarno pada Sidang BPUPKI 1 Juni 1945
Itulah asal pembentukan Pancasila bahwa konsep itu dirumuskan dan ditetapkan sebagai asas, dasar, dan tujuan dari Indonesia merdeka, tujuan dari berdirinya negara ini. Simpelnya, kita mau merdeka, kita mau bikin negara, lalu dasarnya apa, apa tujuan kita merdeka? Nah, Pancasila adalah jawaban yang disepakati oleh para tokoh bangsa saat itu.
Keceplosan bicara Yudian Wahyudi yang baru dilantik sebagai Kepala BPIP menuai berbagai respon. Ada yang mencoba meluruskan kesesatan berpikir, melaporkan ke polisi, hingga menuntut pencopotannya dari lembaga yang program utamanya pembinaan ideologi Pancasila. Bahkan ada pula yang menuntut BPIP dibubarkan saja.
Kubilang wajar muncul respon seperti itu. Seolah kita sedang asyik tidur siang di tengah waktu rihat bekerja tiba-tiba ada orang yang sedang girang-girangnya kesampaian menjadi pejabat penting, menyundut petasan di sebelah kita.
Ada yang negatif tentu ada juga yang positif. Itulah kelaziman kecamuk isu yang jadi santapan media kita. Para pembela kepala BPIP bergantian menyampaikan argumen. Ada yang menganggap apa yang disampaikan “anak baru” di lingkungan pejabat tinggi itu tidak salah, ada juga yang mengklarifikasi dengan berbagai teori dan dalil. Intinya mantan rektor UIN itu tak perlu disalahkan apalagi dicopot dari jabatannya.
Kericuhan soal Pancasila itupun manjang bukan cuma soal agama sebagai musuh pancasila tetapi juga soal kesimpulan orang-orang yang menganggap kepala BPIP itu ingin mengganti ucapan salam religius menjadi Salam Pancasila. Untuk soal ini menarik membaca cek fakta yang ditulis oleh Ika Ningtyas di tempo.co.
Ribut-ribut kembali soal pancasila, aku jadi mikir kenapa Pancasila masih perlu ditanamkan kepada bangsa ini? Apakah tidak cukup pancasila kita kembalikan pada posisi semula yaitu sebagai dasar dan tujuan bernegara? Tak perlulah kita bikin mumet diri sendiri dan akhirnya mengada-adakan teori dan dalil tentang Pancasila sebagai pandangan hidup selayaknya agama dan keyakinan leluhur.
Coba ingat-ingat kembali pelajaran Pancasila yang pernah ada dalam kuriukulum pendidikan kewarganegaraan. Disebutlah Pancasila sebagai kepribadian bangsa, pandangan hidup bangsa, sumber dari segala sumber hukum meskipun faktanya hukum jarang berpihak kepada rakyat jelata. Disebut juga Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia, sebagai nilai-nilai kehidupan bermasyarakat. Padahal kalau kita tanya langsung ke masyarakat, misalnya kita bertanya kepada masyarakat yang sedang melakukan ritual keagamaan maupun ritual adat saat panen raya. Aku yakin mereka tak menjawab bahwa ritual agama maupun tradisi leluhur yang mereka lakukan itu sebagai nilai-nilai Pancasila. Kenyataannya memang begitu. Bangsa kita hidup dengan nilai-nilai agama dan tradisi leluhurnya sendiri. Itu sudah berlaku sejak Pancasila belum disepakati sebagai dasar negara dan jauh sebelum Pancasila dijadikan teori tentang nilai-nilai kebangsaan. Jadi benarkah Pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan kita?
Sekarang kita cek lagi. Misalnya dalam berbagi kursi di kendaraan umum. Ketika kita berdiri untuk memberikan tempat duduk kepada orang yang lebih membutuhkan, apakah itu yang disebut pancasilais? Ketika kita antre dengan tertib apakah kita menyebut itu etika pancasila? Sepertinya tidak. Bisa jadi kebanyakan kita akan menjawab bahwa yang kita lakukan itu adalah etika yang boleh jadi kita dapatkan dari nasehat leluhur maupun ajaran agama yang kita anut.
Terlalu rumit jika Pancasila dijadikan nilai dasar kehidupan berbangsa. Dalam soal keyakinan beragama saja kita punya 6 agama resmi dan sekira 245 agama leluhur. Apakah itu bisa kita klaim sebagai nilai-nilai kehidupan Pancasila? Nggak gitulah. Agama resmi yang diakui pemerintah maupun agama leluhur yang sudah ada sepanjang hayat suku-suku di negeri ini sebaiknya dipahami sebagai identitas asli mereka sendiri. Tak perlu diklaim sebagai nilai maupun moralitas Pancasila.
Sebaiknya kembalikan pancasila pada awal penetapannya yaitu sebagai dasar negara kebangsaan dan tujuan bernegara itu sendiri. Dari pada merumitkan diri dengan konsep-konsep kehidupan yang tak terlalu dibutuhkan rakyatnya, lebih baik penyelenggara negara fokus pada pencapaian kelima sila dari pancasila. Fokus saja pada tujuan bernegara yaitu menjamin kebebasan bangsa ini dalam berketuhanan yang Maha esa, sehingga tak perlu ada lagi pelarangan pendirian rumah ibadah, diskriminasi terhadap kaum minoritas, menjamin persatuan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial yang sebenar-benarnya dapat dirasakan rakyat.
Pancasila sebagai dasar negara sudah disepakati dan tak perlu diutak-atik lagi. Kini generasi yang ada saat ini tinggal mewujudkan tujuan bernegara, yaitu Pancasila. Dari zaman Sukarno, Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, SBY, Hingga Jokowi, tujuan negara ini dibentuk belum tercapai.
Pada akhirnya situasi kembali sepi. Tweepers kerap menyebutnya dengan tagar #KemudianHening. Apa lagi sang Kepala BPIP itu sudah berjanji di depan Anggota DPR untuk tidak lagi menyampaikan pernyataaan kontroversial. Begitulah watak orang kita, gampang dipancing ricuh dan gampang juga kembali sunyi.
Jadi ingat obrolan bersama teman-teman di Jogja kemarin. Kami membahas beberapa teman aktivis yang sudah berubah. Bukan berubah nasibnya, itu sih wajar karena mereka hidupnya semakin berada karena mendapat gaji dan proyek dari lingkar kuasa. Yang kami bincangkan adalah perubahan sikap mereka dari yang tadinya kritis terhadap pemerintah menjadi pembela yang sedang berkuasa. Mantan aktivis kalau celetukku, yang membuatku menyablon kaos dan tas #MelawanLupa lalu #LupaMelawan saat nyemplung dalam kancah politik.
Kenapa mereka bisa berubah seperti orang yang hilang ingatannya? Tak perlu dijawab. Jangankan sikap. Apa yang penting di negeri ini memang mudah hilang. Bahkan dokumen penting negara kita saja bisa hilang.
Dokumen penting negara kita memang pernah hilang. Contohnya notulensi sidang BPUPKI di mana saat itu Sukarno pertamakali menyebut kata Pancasila sebagai landasan filosofis terbentuknya negara republik Indonesia. Padahal itu dokumen penting. Dari situlah kita bisa membaca kembali secara secara faktual, bukan versi yang dirilis penguasa. Naskah proklamasi pun pernah hilang dan baru ditemukan pada 1992. Apa lagi yang hilang? Ingat Surat Perintah Sebelas Maret? Saat ini dokumen tersebut pun belum ditemukan bendanya, yang membuat Soeharto menguasai negara dengan Orde Barunya.
Hilangnya dokumen penting memang punya alasan tertentu. bisa jadi untuk keamanan dokumen tersebut, atau boleh jadi untuk menutupi kebenaran. Kalau dulu dokumen bisa hilang namun saat ini mestinya semakin sulit menghilangkan bukti sejarah sebab di zaman digital setiap momen bisa didokumentasikan. Bahkan adal seloroh netizen bahwa jejak digital itu abadi, hanya saja sayangnya saat ini, yang hilang dari bangsa kita bukannya dokumen, tetapi nalar berbangsa.
Leave a Reply