Dulu tahun 80-90 anak-anak SMP/SMA yang berjilbab dilarang. Ada juga yang orangtuanya diancam sehingga anaknya terpaksa dipindahkan ke sekolah “Islam”. Kenyataan saat ini bertolakbelakang. Justru banyak kasus sekolah negeri yang mewajibkan pelajar perempuan mengenakan jilbab. Yang tak berjilbab diintimidasi. Dulu tertindas, kini menindas.
Dua sikap yang ujungnya sama-sama mengekang kebebasan. Yang pertama terkesan alergi terhadap atribut keislaman, mungkin khawatir atas paham radikal. Yang kedua terkesan memaksakan atribut keislaman, mungkin stigma terhadap perempuan tak berjilbab yang dianggap tak berakhlak mulia. Keduanya sama-sama toksik dalam kehidupan berbangsa.
Kita melesat ke masa lalu saat pemerintah ORDE BARU melarang pemakaian jilbab di lingkup sekolah. Dirjen Pendidikan dan Menengah, Prof. Darji Darmodiharjo, SH., mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional yang implementasinya berujung pada pelarangan jilbab di sekolah. Cuplikan gambar di bawah hanya salah satu fakta tentang pelajar perempuan yang tertindas tak boleh pakai jilbab. Fakta lain, tentu lebih banyak yang tak diberitakan. Kamu boleh tanya sama orang tuamu yang remaja di tahun 80-90an. Boleh jadi ia mengalami atau temannya mengalami ketertindasan.
Buat gen-Z yang di media sosial sempat kampanye enakan zaman Orba, harus tahu soal ini. Orba tak sekeren yang kamu bandingkan dengan Ornow (Orde Now).
Karena merasa didiskriminasi atau merasa ditindas, banyak ormas Islam yang melakukan protes terhadap pemerintah. Hasilnya, represi terhadap kalangan yang terkesan Islamis makin berkurang dan jilbab diperbolehkan. SK seragam sekolah yang baru resmi ditandatangani, setelah melalui proses konsultasi dengan banyak pihak, termasuk Kejaksaan Agung, MENPAN, Pimpinan Komisi XI, DPR RI, dan BAKIN. SK yang baru itu, SK No. 100/C/Kep/D/1991, tidak disebutkan kata jilbab, tetapi yang digunakan adalah istilah “seragam khas”.
Zaman berkembang, jilbab boleh dipakai di sekolah, kampus, kantor, bahkan di warung remang-remang. Kesadaran menerapkan ajaran agama menyeruak ke mana-mana. Jilbab menjadi seragam lazim di sekolah negeri layaknya di pesantren dan sekolah agama Islam (Tsanawiyah dan Aliyah).
Jilbab telah lepas dari penindasan. Kini setiap orang bebas berjilbab sampai kita menyaksikan kenyataan miris. Kalau dulu yg tak suka jilbab nyinyir bahkan mengintimidasi temannya yg berjilbab. Saat ini terbalik. Yang gak pakai jilbab dinyinyirin sama yang berjilbab, bahkan diintimidasi. Artinya apa?
Artinya kita masih melihat kesombongan dari mereka yang merasa mayoritas dan ngetren, menekan yang minoritas. Ini masalah dalam melihat keragaman. Bineka terusik sentimen. Kehidupan sosial kita kembali kena toksik. Bully, nyinyir, dan intimidasi menyerang siapa saja yang minoritas.
Intoleransi terhadap pelajar perempuan yang tak berjilbab memicu narasi agar pemerintah kembali mengeluarkan aturan seragam di sekolah yang poinnya jilbab bukan seragam default bagi pelajar perempuan di sekolah. Seolah aturan seperti tahun 1982 soal seragam kembali diterapkan.
Sebagai sesama warga negara, kita memang butuh peraturan bersama namun dalam konteks sosial, tenggang rasa dan budi pekerti adalah yang utama. Jadi tak terkesan peraturan jadi tameng untuk membenarkan sentimen. Jika kita berangkat dari sentimen, yang terbentuk bukan kesadaran atas keberagaman namun hanya mengulang intimidasi dan perlawanan. Saatnya kita move on!
Menurutku penyakit kita bukan pada pakaian dan aksesoris, tapi pada akar budaya yang kering, cara berpikir yang keliru melihat kebhinekaan, sentimen dan stigma mayo-mino, sehingga kita nggak nyaman hidup bersama dalam perbedaan.
Sopir taksi yang ku ajak ngobrol tadi bilang, “Saya kangen masa kecil pak. Keluarga saya tuh bhinneka. Ada yang agamanya Islam, Kristen, bahkan ada sepupu saya yang nikah sama temannya keturunan China. kami tetap akur….
…waktu kecil teman saya yang agamanya beda-beda juga asyik aja ikutan main beduk pas malam takbiran. Pas natalan, kita juga biasa aja. Nggak takut ucapkan natal.” begitu.
Ada yang kangen masa-masa kecil seperti itu? Ada yang rindu dengan kehidupan yang saling menghargai agama dan ritual sesama tetangga? Kita sebenarnya bisa kembali hidup damai jika mindset kita tentang agama didasari dengan damai, dengan rahman dan rahim atau kasih sayang, bukan dengan sentimen dan merasa paling benar.
Jika kamu main ke pasar buah, melihat lapak bermacam-macam buah di sana, bisakah kamu menentukan mana buah terbaik? Jika kamu anggap yang paling buah adalah yang manis, bagaimana dengan buah yang takdirnya asam? Apakah karena takdirnya buah asam tak bisa menjadi buah terbaik? Boleh jadi bagi penikmat asam, buah yang asamlah yang terbaik. Setidaknya begitulah sebaiknya menyikapi agama dalam konteks sosial.
Silakan merasa paling benar dalam hal akidah, dalam hal iman. Tetapi dalam bermasyarakat, dahulukanlah menghormati perbedaan, memprioritaskan keakuran dan kedamaian. Dan ingat, yang mengubah imanmu bukan orang lain, tetapi kerapuhanmu sendiri.
Terakhir, kita sama-sama rakyat Indonesia. Jika kita tak bisa hidup bersama dan saling menghormati, bagaimana bisa kita menikmati hidup sebagai bangsa yang multi kultural. Hidup kita sudah cukup lelah dengan berbagai tingkah polah pejabat negara yang korup, dengan politikus yang memancing ricuh. Biarkan mereka kampanye berbusa-busa, kita sesama rakyat jelantah damai-damai aja!
Leave a Reply