Ini adalah sebutan khas dari Pak Haji yang punya kontrakan di ujung Jl. Raya Penggilingan. Masyarakat umumnya menyebut Flyover Pondokkopi, Jakarta Timur. Pak Haji agak laen emang. Dia lebih suka menyebutnya jembatan developer ketimbang flyover.
“flyover? lu kata fly, mabok terus dioper dah. lah, orang mabok dioper-oper.” sanggah Pak Haji ketika dulu aku menyebut flyover untuk jembatan yang ada di depan kios rental dan reparasi komputer yang aku kontrak dari Pak Haji.
Sejak itulah kami pun -aku dan teman-teman yang mengelola rental dan reparasi komputer- juga menyebut jembatan developer.
Itu kejadian sekira tahun 2000 saat jembatan developer baru selesai dibangun 1 jalur. Sekarang sih sudah dua jalur. Di sanalah aku, dan teman-teman bersepakat buka kios. Tahun segitu masih sangat jarang usaha rental dan service center komputer di sekitar Pondok Kopi. Di selempengan jalur jembatan developer aja cuma ada kios kami, dan 2 kios lagi sebelum rel kereta.
Kios kami namanya Saka Computer. Tapi gara-gara tetangga kami, si Johny Electric sering salah sebut jadi Soka, maka beberapa orang pun menyebutnya Soka Computer. Bahkan si Narlan, yang paling jago di kios kami dipanggilnya Nurlan Soka. Sudah salah Saka jadi Soka, Narlan pun jadi Nurlan.
Tapi kami memang tak pernah mempersoalkan orang mau menyebut apa. Lidah orang beda-beda. Dalam hal linguistik memang sering terjadi selip atau salah ucap. Jadi terserah mau menyebut Jembatan Developer, Nurlan, Soka, sebodo amat yang penting kami bisa dapat cuan dari banyak pelanggan saat itu. Croissant pun sekarang jadi kroisan bukan kwasong lagi.
Saka Computer pertama digagas sama aku dan Nurlan Soka dan Engki. Saat pengembangan klien, bergabunglah Ade Palang Pintu yang merelakan mobilnya buat jaminan Bank Perkreditan Rakyat, agar kami bisa membeli beberapa untuk komputer pesanan sebuah Pesantren di Bogor. Saat itu ada juga Kuple dan Oeban yang sering nongkrong di kios.
Selain kami, anak Pak Haji juga sering nongkrong di kios. Dari awal gaptek sampai mereka pun bisa merakit komputer. Saat itu kami woles aja kalau ada yang mau belajar, ya diajarin secara cuma-cuma. Ada Ucup, Agus, Black, Koco, dan tah siapa lagi. Bahkan ada satu kang Ojek langgananku yang juga sering nongkrong di kios. Namanya Bang Warja. Selain menjemputku, biasanya dia datang ke kios buat ngecak nomor “togel verified” alias SDSB/Porkas.
Usaha kami lumayan berkembang saat itu. Untuk rental maupun layanan pengetikan dan desain setting, kami punya loyal customer. Untuk pengadaan barang dan reparasi pun punya beberapa klien yang dirawat sama Nurlan. Lumayanlah buat bertahan hidup.
Kusadari belakangan, ternyata buka kios atau warung itu ternyata bukan cuma soal cuan. Ada yang lebih penting dan berdampak panjang yaitu merawat pertemanan. Networking. Manakala itu terawat dengan baik maka bisa bertahan sepanjang waktu. Meskipun lama tak bertemu, saat bertemu kembali rasanya bahagia sekali.
Selama hidup di sekitar Jembatan Developer banyak sekali pengalamanku. Selain urusan pekerjaan, permainan, dan pertemanan, ada juga beberapa titik lokasi sekitar yang melekat kuat dalam ingatan. Tentunya selain jembatan developer itu sendiri.
Aku punya 2 tempat penuh kenangan selama hidup di sini, yaitu Rumah Makan Ajo Minang dan Stasiun Klender Baru atau beberapa orang menyebutnya Stasiun Pondok Kopi. Ada cerita apa di dua tempat itu?
Ini adalah tempat kami sering makan siang. Bukan soal rasanya yang enak, ya namanya warung padang di mana-mana rasanya identik. Si Kuple kerap ngajak makan di sini karena harganya sangat menolong kami yang sering dalam kondisi pas-pasan. Menu andalanku cincang dan perkedel. Itu paling murah namun mengenyangkan.
Kalau lagi keblangsak banget ya kami makan di warteg dekat stasiun. Lumayan beragam menunya dan tentu harganya lebih murah. Kenapa nggak makan di warteg terus? Ya, zaman kami dulu, makan di warung padang kan jarang-jarang. Cuma orang bercuan yang bisa makan di situ. Nah tapi RM Ajo tuh memang beda sih. Jualannya tetap paling murah dibandingkan dengan warung padang seluruh dunia. Kapan bandinginnya ya?
Tempat lain yang kuat kenangannya ya apalagi kalau bukan Stasiun.
Stasiun ini tempat kami berangkat dan kembali kalau mau belanja spare part komputer di Mangga Dua maupun sekitaran Glodok. Tinggal nangkring, sampaikan ke pusat grosir perkomputeran terbesar di Indonesia.
Naik kereta zaman itu tentu belum setertib sekarang. Dulu di dalam gerbong masih bisa ketemu sama penjual makanan, minuman, cangcimen, kang ngamen, kang rokok, kang koran, kang pijat, dan apapun, bahkan sekawanan copet.
Pengalaman sehari-hari naik kereta itulah yang menginspirasiku untuk membuka bab pertama novelku, Jihad Terlarang.
Tapi sebenarnya ada kenangan yang paling berkesan di stasiun ini. Yaitu kejadian pada suatu malam. Saat itu ada temanku yang putus asa menjalani hidupnya. Ia berkali-kali bilang lebih baik mati, ingin bunuh diri. Sampai pada suatu malam di saat aku lelah mendengar mulutnya berucap mau bundir, aku pun mengajaknya ke stasiun itu.
Jangan bayangkan kondisi stasiun seperti sekarang. Zaman itu masuk ke stasiun kalah malam ya bebas. Lha wong sudah tidak ada jam lintas KRL atau commuterline. Hanya tinggal jalur perlintasan Kereta Luar Kota. Aku mengajak temanku itu duduk di peron stasiun.
“Oh, ngobrol di sini. Enak juga. Sepi. Gue kira mau ngapain lu ngajak gue ke stasiun.” katanya sambil memantik korek api, menyalakan sebatang rokok.
“Gini, bro. Lu kan sering ngomong mau bunuh diri. Nah, kalo emang lu gak mau bertahan hidup, kalo lu mau mati, lu tidur aja di rel itu. Sebentar lagi kereta luar kota lewat. Sebagai teman, gue nanti akan urusin mayat lu. Dah, sana rebahan!” pintaku.
Temanku akhirnya memilih melanjutkan hidup. Kami pun kembali ke kios di sebelah Jembatan Developer.
Leave a Reply