Ini catatan pendek tentang dua pesan yang kudapat dari dua sosok dan masa yang berbeda. Pesan yang tak lapuk oleh waktu dan tak lekang karena terik.
Pesan dari Ayah Aja, warga Cibeo Baduy Dalam begitu melekat dalam ingatanku. Mungkin akan selamanya melekat. Banyak pesan yang kudapat darinya. Pernah kutuliskan di blog ini, dalam Ayah Sehari. Tapi kali ini aku hanya mengangkat kembali pesannya tentang kalajengking.
Saat berjalan kaki, seekor kalajengking lewat di depan kami. Ayah Aja melarangku yang bergerak ingin memindahkan kalajengking itu. Memang kalajengking terkesan berbahaya tetapi sebenarnya itu hanya prasangka kita saja.
Kita terbiasa melihat jahat atau baiknya orang, dari penampilan. Padahal penampilan belum tentu selalu mencitrakan tabiat seseorang. Ayah Aja memintaku membiarkan kalajengking itu tetap pada jalannya, sebab kita tak tahu tujuannya mau ke mana.
Kadang kita sok tahu dengan urusan orang. Lalu kita memaksakan orang mengikuti arahan kita sendiri padahal kita tak tahu apa yang dituju orang lain. Boleh jadi impian sukses yang kita paksakan kepada teman, merupakan malapetaka baginya.
Sebaiknya kita tak merasa lebih tahu tentang orang lain. Apa lagi sampai menuding orang dengan mengandalkan emosi kita sendiri. Di sini kuingat pesan Jean Marais kepada Mingke, tokoh dalam Bumi Manusia-nya Pram.
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” – Jean Marais
Tak sepantasnya jika kita gampang menuding orang hanya dengan pandangan kita yang terbatas. Apalagi jika mencap orang hanya berdasar kabar yang belum teruji kebenarannya.
Begitulah catatan singkat ini.
Leave a Reply