Jika kamu tak kenal dengan caleg DPR/DPRD/DPD, tak percaya dengan capres/cawapres 2024, lalu memilih untuk tidak memilih, itu hakmu. Tak ada yang boleh melarangmu bersikap Golput, sebagaimana kamu pun tak pernah melarang orang untuk berpartisipasi dalam pesta kronikrasi demokrasi.
Ini tulisan kedua tentang Golput. Tulisan dengan judul yang sama pernah kutulis di blog ini jelang Pemilu 2014. Spiritnya tak berbeda dengan tulisan pertama. Kali ini aku mencoba menelaah alasan orang memilih Golput. Berikut beberapa alasannya.
1. Ketidakpuasan terhadap calon
Ada saja yang tidak puas dengan calon yang tersedia dalam pemilu, baik karena mereka merasa tidak ada calon yang mewakili nilai atau harapan mereka, atau karena meragukan integritas atau kompetensi calon tersebut.
Saat ini kita dihadapkan dengan 3 calon: Prabowo, Ganjar, Anies. Ada saja rakyat yang tidak puas dan tidak percaya terhadap ketiganya. Jika kamu tak yakin Indonesia bakal lebih baik jika dipimpin oleh salah satu dari ketiganya, silakan kembalikan surat suara tanpa mencoblosnya.
2. Sikap politik
Beberapa orang mungkin memiliki pandangan kritis terhadap proses politik secara keseluruhan dan memilih untuk mengekspresikan ketidaksetujuan mereka dengan golput. Mereka mungkin merasa bahwa partisipasi dalam sistem politik yang ada tidak akan menghasilkan perubahan yang signifikan atau memenuhi harapan mereka.
Jangan salahkan jika ada sekelompok masyarakat yang golput karena hak-hak mereka kerap ditindas. Misalnya masyarakat yang sampai hari ini terancam oleh proyek tambang, dampak sawit, pelangkaan masyarakat adat, dan sebagainya. Dari presiden ke presiden berikutnya, mereka tak pernah merasakan keamanan hidup sebagai warga negara. Jadi wajar kalau mereka golput.
3. Ketidakpercayaan pada lembaga pemilu
Seseorang mungkin merasa bahwa lembaga pemilu atau sistem politik secara umum tidak adil dan korup. Mereka mungkin meragukan integritas proses pemilihan dan memilih untuk tidak memberikan suara sebagai bentuk protes terhadap sistem yang mereka anggap korup dan curang.
Apakah tidak mempercayai integritas oknum lembaga kepemiluan itu salah? Tidak sama sekali. Bagaimana bisa kita dianggap salah jika terbukti orang-orang di lembaga tersebut terbukti curang dan korup. Kamu boleh tidak percaya asal tidak menyebarkan fitnah ke publik tentang lembaga tersebut.
4. Ketidaktahuan atau ketidakpedulian
Beberapa orang mungkin tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang pentingnya partisipasi politik atau kurangnya kesadaran akan pemilihan yang sedang berlangsung. Mereka mungkin tidak tertarik atau menganggap bahwa hak suara mereka tidak memiliki pengaruh yang signifikan.
“Siapa sih gue. Penting juga kagak buat orang-orang di atas. Daripada nyoblos mending gue tidur. Capek abis nonton bola, semalem.” Seloroh driver ojol saat kutanya kenapa tidak nyoblos pada pemilu 2019.
Berapa banyak orang yang Golput pada Pemilu pasca reformasi dikorupsi?
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), tingkat golput 23,30% pada Pilpres 2004, 27,45% pada 2009, dan 30,42% pada 2014. Sedangkan menurut LSI pada Pemilu 2019 turun jadi 19,24%.
Meskipun golput merupakan pilihan personal seseorang, ada saja orang yang khawatir dengan keberadaan golput. Orang seperti itu menganggap golput berbahaya, padahal kalau kita lihat data di atas, dari sejak Pemilu 1971 pun selalu ada Golput dan pemerintah Indonesia tetap berjalan baik-baik saja.
Yang merongrong legitimasi pemerintah yang menang Pemilu bukanlah mereka yang golput, melainkan mereka yang sangat berpartisipasi aktif dalam Pemilu. Tak usah jauh-jauh ke tahun-tahun kamu belum lahir. Cukup ke Pemilu 2014 dan 2019, kamu lihat sendiri bagaimana polarisasi yang diciptakan oleh kalangan politikus sendirilah yang merecoki pemerintah. Sekali lagi, bukan orang golput. Jadi, gak perlu takut sama Golput!
Leave a Reply