Ekspedisi Tugu Khatulistiwa

Perjalanan hari keenam di Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah merupakan yang terjauh dibandingkan lokasi dan hari sebelumnya, menyusuri Sungai Barito menuju Desa Tumbang Kunyi Kecamatan Sumber Barito. Jika Pak Willy (Bupati Murung Raya) tak mensyaratkan ke lokasi Tugu Khatulistiwa sebelum kami kembali ke Jakarta, rasanya aku ingin segera pulang, sebab banyak pekerjaan yang terbengkalai. Tetapi ajakan baik beliau tak bisa kami tolak. “Sayang sekali jika kalian tak sampai menginjakkan kaki di sana. Di antara ratusan juta rakyat Indonesia, kalian ini orang-orang yang beruntung bisa menginjakkan kaki di Murung Raya. Bahkan SBY saja belum pernah ke sini. Jadi, datanglah ke sana!” Rayu Bupati yang bulan Juli 2013 akan mengakhiri masa jabatannya, saat kami berbincang hingga pukul 1 dini hari.

Jam 9 pagi kendaraan yang sejak awal mengantarkan kami ke pelosok Kabupaten Murung Raya, sudah dipersiapkan. Ranger 4×4 keluaran Ford itu kini berganti driver, Bang Andung namanya. Staf Bagian Umum Kantor Bupati Murung Raya, Pak Hernedi mengenakan seragam dinasnya. Mereka berdua yang akan menemani kami.

“Bang Andung itu sopir pilihan pak Bupati. Dia sudah biasa melintasi jalur yang sulit dan menegangkan. Dia biasa offroad. Jadi tenang saja!” Pak Hernedi memperkenalkan kami dengan Bang Andung, anak muda asli Suku Dayak Siang.

8 Kilometer dari Puruk Cahu, kami mengawali perjalanan di Desa Konut. Di desa ini terdapat Rumah Betang, rumah unik khas Suku Dayak Siang di Kalimantan Tengah. Rumah yang dibangun dari Kayu Ulin ini berdiri di atas kaki kayu setinggi hampir 3 meter. Panjang Rumah Betang sendiri diperkirakan 150 m. Ada 10 Kepala Keluarga asli Suku Dayak yang menempati rumah yang eksotik ini.

Dari sebuah ketinggian di Desa Konut, kami berhenti sejenak tepat di tepi jurang dengan pemandangan perbukitan dan pusat kabupaten Murung Raya. Kami terpana terjerat keindahannya.

Beberapa Desa kami lintasi, mulai dari Desa Kurung Pajang, Sungai Lunuk, Kalari, dan Saripoi. Di setiap desa terdapat rumah penduduk khas suku Dayak yang jaraknya berjauhan. Kehidupan di sini belum sepadat di Kota lain. Kecamatan Murung saja, tingkat kepadatannya hanya 40 jiwa per 1/KM2. Bahkan ada satu kecamatan yang tingkat kepadatannya hanya 1 jiwa/KM2 yaitu Seribu Riam dengan jumlah penduduk 3.742 jiwa di wilayah seluas 7.023 Km2. Sepi! Lengang!

Perjalanan yang akan kami tempuh sekitar 160 KM dengan kondisi jalan meliuk-liuk, rusak, dan beberapa kilometer sedang dalam proses pengaspalan. Berbagai jenis tanah yang kami lintasi juga beragam. Kadang kami melintasi jalan bertanah merah yang licin karena terdapat genangan akibat hujan, tanah berpasir putih, hitam, berkerikil, berbatu, dan cadas. Namun karena setiap sisi jalan dilingkupi dengan kondisi hutan eksotis, maka kondisi jalan yang berat tak menjadi rintangan. Keingintahuan kami tentang kehidupan penduduk dan keadaan hutan di Kalimantan Tengah merupakan pemicu untuk tak urung melanjutkan perjalanan.

Kenapa urung? Ya, pikiran itu sempat terbetik sesaat ketika kami mendengar teriakan pengemudi traktor, “Tak boleh lewat! Bahaya, jembatan roboh!“. Tapi kami memilih menunggu sekitar 40 menit untuk bisa melintasi jalan yang jembatannya sedang diperbaiki. Meskipun matahari membara di atas kepala, teriknya serasa membakar kulit, namun kami tetap bertahan. Kami ingat semboyan Murung Raya, Tira Tangka Balang yang berarti jika melakukan sesuatu jangan setengah hati, selesaikan hingga tercapai tujuan.

Jembatan di satu bagian Kecamatan Tanah Siang roboh entah karena apa. Kami tak mendapatkan jawaban saat bertanya kepada lelaki yang sibuk mengendalikan traktor, menarik pohon besar dan memosisikannya sebagai pengganti jembatan sementara.

Niat kami tak terhambat sebab jembatan pun akhirnya berhasil kami lewati. Perjalanan kami lanjutkan. Tubuh ini menjadi terbiasa dengan guncangan. Kadang terlempar ke kanan, kadang ke kiri. Bahkan sesekali aku harus memegang erat kursi di depanku ketika Ranger harus menuruni bukit terjal atau saat menanjak sekitar 45 derajat bahkan lebih miring lagi. Ngeri tapi tetap seru karena sang pengemudi sudah beberapa kali menunjukkan kebolehannya. Salut!

Tibalah kami di Pesona Pasir Putih pada pukul 13:30 WIB. Kami terpukau dengan Bukit berwarna putih abu-abu ini. Kala memanjat tebingnya dan berdiri di puncak menghadap ke Barat, terhampar 7 lapis pegunungan di Kalimantan Tengah. Itulah pegunungan Muller. Oh, Betapa!

Suasana di Pesona Pasir Putih ini kami jadikan tempat refreshing, beristirahat melemaskan tubuh yang sakit di beberapa persendian karena guncangan. Kami bercanda, memanjat, dan santai kurang dari lima belas menit.

Perjalanan masih harus dilanjutkan. Kami tak ingin terlalu lama sampai ke Tugu Khatulistiwa. Kami sepakat untuk beristirahat nanti saja di Pesona Pasir Putih saat perjalanan pulang nanti. Sebab yang utama dalam perjalanan ini adalah Tugu Khatulistiwa. Dari lokasi ini perjalanan ke sana masih harus ditempuh sekitar 66 Kilometer lagi. Kalau medan jalannya lurus seperti Tol Jagorawi, mungkin cuma 30-40 menit kami dapat menjangkaunya. Menurut perkiraan Bang Andung, kami harus tiba di lokasi 90 menit saja agar pulangnya tak terjebak malam pekat dan kabut yang berlapis-lapis.

Perhitungan Bang Andung rupanya tepat. Pukul 14:30 kami tiba di Kecamatan Uut Murung, di mana terdapat lokasi Tugu Khatulistiwa (Equator Monument). Tapi kami harus makan dulu. Lapar sudah sangat mendera. Bagi teman-teman yang ingin berkunjung ke sini, kurekomendasikan Warung Pak Zarkasi yang baik hati. Tersedia beragam makanan dan jajanan. Aku memilih makan Rawon dan Segelas Es Teh Manis. Kenapa aku merekomendasikan Warung Pak Zarkasi? Ya satu saja alasannya, karena cuma Pak Zarkasi yang berjualan di situ. 🙂

Usai makan dan bercengkrama bersama Pak Zarkasi dan salah seorang penduduk, kami melanjutkan ke tujuan utama: Tugu Khatulistiwa yang jaraknya hanya tinggal 200 meteran lagi. Sebelumnya kami mengisi buku tamu di Kantor Kecamatan Uut Murung, yang bertanggung jawab atas perawatan hutan, sungai, penduduk, dan juga Equator Monument tersebut.

Tugu Khatulistiwa atau Monumen Khatulistiwa, atau boleh saja kita menyebutnya Equator Monument terletak di kawasan hutan Desa Tumbang Olong, Kecamatan Uut Murung, Kabupaten Murung Raya (Mura), Kalimantan Tengah. Tugu yang merupakan titik 0 Kilometer Kalimantan Tengah ini tepat berada di lintasan garis khatulistiwa. Tugu ini dibangun oleh perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sarang Sapta Putra pada tahun 2001.

Bangunan tugu terdiri atas 4 tonggak kayu ulin (kayu besi), masing-masing berdiameter 0,30 meter, dengan ketinggian tonggak bagian depan sebanyak dua buah masing-masing 3,05 meter dan tonggak bagian belakang tempat lingkaran dan anak panah penunjuk arah 4,40 meter.

Diameter lingkaran yang di tengah terdapat tulisan EVENAAR sepanjang 2,11 meter. Panjang penunjuk arah 2,15 meter dengan tulisan plat di bawah anak panah tertera 114’ 2002’ LG (OlvGr) menunjukkan letak berdirinya tugu khatulistiwa pada garis Bujur Timur.

Tak lama kami di sini. Hanya 30 menit saja karena ada satu lokasi lagi yang harus kami tuju yaitu Air Terjun Bumbun. Bukan cuma air terjunnya yang ingin kulihat, tetapi memasuki hutan di kala gerimis itulah yang juga sangat kunikmati. Aroma humus, kulit pohon, air, yang bercampur di udara merupakan suasana yang amat berharga di pulau yang menjadi paru-paru dunia ini.

Tepat puku 5 sore kami meninggalkan hutan dan air terjunnya. Gerimis menderas. Kami harus memburu waktu agar tak terlalu malam menyusuri jalan kembali di tengah hutan yang belum ada satu pun penerangan.

Tigabelas menit Ranger melaju meninggalkan lokasi terakhir, kami melihat sekelompok orang sedang menanti bantuan karena kerusakan pada mobilnya. Bisa saja kami tak peduli demi waktu yang amat terbatas. Tetapi kami segera sadar, bagaimana jika kami mengalami hal serupa di tengah hutan nanti? Pasti butuh penolong. Karena itu kami berhenti sekadar meminjamkan kunci yang mereka butuhkan.

Aku dan Khrisna Pabichara tak mengerti permasalahan mesin. Jadi kami menunggu saja sambil memotret mobil yang sejak hari pertama menemani perjalanan kami di Kabupaten Murung Raya ini.

Perjalanan kami lanjutkan. Pemandangan saat berangkat tak berubah kecuali langit yang perlahan memaparkan senja. Rupanya Bang Andung masih mengingat rencana kami untuk beristirahat cukup lama di Pesona Pasir Putih. Tanpa bicara ia menanjakkan Ranger ke puncak Bukit yang amat memikat. Terkejut kami dibuatnya. Tetapi justru dari puncak bukit itulah kami dapat lebih takzim menikmati senja yang berakhir di bukit itu. Dan akhirnya malam pun menjadi teman perjalanan pulang.

 

  • 23/05/2013