Bolehlah ia dielu-elukan sebagai orang kaya yang tetap bertingkah layaknya kaum jelata. Tampangnya yang “kampungan” banget paling banyak dijadikan cover buku dibandingkan dengan tokoh publik lainnya yang masih hidup. Sepak terjangnya yang kadang tak lazim bagi kalangan Menteri menjadi buah bibir media. Tetapi di antara berlapis pujian dan kesalutan banyak orang, Dahlan Iskan adalah sosok yang menyebalkan.
Bagaimana tidak menyebalkan, lha wong sudah banyak buku-buku yang menuliskan tentangnya, ternyata novel kisah masa kecilnya yang dianggit Khrisna Pabichara menjadi novel mega best seller. Meskipun tak ada dukungan Mega dari PDIP (baca: MT ngaco!).
Saat Dwilogi novel Sepatu Dahlan dan Surat Dahlan laris manis di pasaran, banyak orang yang makin jengkel sama si Dahlan anak Pesantren Takeran ini.
Belum kelar pamor Dahlan menggunung lantaran novel dwilogi tersebut, diluncurkan pula film Sepatu Dahlan yang disutradarai Benni Setiawan. Yang bikin tambah jengkel mungkin waktunya berbarengan dengan proses konvensi calon presiden Partai Demokrat dan pemilihan presiden Pemilu 2014. Mempertimbangkan dampak filmnya di seluruh pelosok indonesia, maka Dahlan Iskan adalah sebuah ancaman. Lantaran itu, beredar desas-desus, film Sepatu Dahlan yang baru 6 hari tayang diturunkan dari jadwal putar. Bukan cuma itu, buku-buku tentang Dahlan Iskan, termasuk novel Sepatu Dahlan edisi terbaru dengan cover seperti poster film, raib dari toko buku.
Kenapa bisa terjadi? Kupikir satu saja jawabannya: Dahlan amat menyebalkan. Selanjutnya kukira masyarakat cukup cerdas untuk mengaitkannya menjadi celotehan politik. Bahkan ada juga yang terlalu berani menyebut Gita Wiryawan di balik “pencurian” Sepatu Dahlan. Benar atau tidak, politik memang ruang istimewa bagi ketidakjelasan dan ketidakwarasan. Lagi pula, bagiku sih, siapa yang berada di belakang masalah ini akan sulit dibuktikan. Penguasa Politik kita paling idiot dalam hal ini. Lebih goblok dibandingkan dengan anak kucing yang baru dilahirkan, yang dapat menemukan puting induknya meskipun mata masih terpejam. Penculikan dan pembunuhan aktivis dari zaman Orde Baru saja hingga kini tak juga berani diungkap.
Bahkan saat aku cek link di kabarpolitik saja, isu yang sempat menyebutkan siapa di balik pemboikotan ini sudah tak ada. Tak kutemukan. Ini link yang sebelumnya ada: http://kabarpolitik.com/2014/04/18/film-sepatu-dahlan-diboikot-salah-satu-peserta-konvensi-demokrat-berinisal-gw/
Melalui akun Twitternya Gita Wirjawan pun menanggapi soal yang membuatnya disangka sebagaimana tulisan yang pernah ada di kabarpolitik tersebut. Gita menegaskan bahwa kabar itu fitnah belaka.
Lalu bagaimana dengan masyarakat yang masih antre menonton film Sepatu Dahlan? Bagaimana dengan kebingungan Khrisna Pabichara, sampai ia menuliskannya di media sosial? itu sih DL: Derita Lo! Orang yang jengkel atas pamor Dahlan mana mikirin apa yang kita harapkan. Bahkan orang-orang seperti itu tak sadar kalau kelakuannya malah merendahkan martabatnya sendiri. Bagi mereka yang penting bisa meredam pamor Dahlan Iskan yang menjengkelkan.
“Pencuri besar dimulai dari mencuri yang kecil!!!” Betapa marahnya ayah Dahlan ketika anaknya ketahuan mencuri tebu karena lapar. Adegan pencurian tebu mengawali film Sepatu Dahlan. Mengawali pula pencurian masa tayang dari bioskop di saat film ini diantre dan disukai banyak orang.
Badewey, kenapa aku menulis tentang ini? Apakah aku penggemar Dahlan Iskan? Bukan. Aku bukan penggemar “si Abah”. Aku cuma merespons kebingungan sahabatku, Khrisna Pabichara yang karya dan turunannya diboikot. Soal Dahlan Iskan, aku pernah ngetwit saat Novel Sepatu Dahlan baru terbit: Aku tak akan memilih Dahlan Iskan jika ia Nyapres pada Pemilu 2014.
Update:
Khrisna Pabichara beberapa detik lalu menyampaikan pernyataan pribadi sebagaimana skrinsut di bawah ini. Ya, apa pun yang menjadi pertimbangan penurunan film ini, kita hanyalah penonton yang suka dengan film bagus karya bangsa sendiri. Jika memang kebijakan manajemen bioskop menurunkannya, kita #cukuptauaja.
Akan tetapi alasan jumlah penonton yang sedikit sepertinya kurang cocok juga dengan statistik yang dilansir filmindonesia.or.id. Situs tersebut mencatat, dari tiga judul film layar lebar yang dirilis pada 10 Maret 2014, Sepatu Dahlan mampu meraup 50.799 penonton. Sedangkan Crush di posisi kedua dengan 28.775 penonton. Film Jalanan, yang berkisah tentang Jakarta dan potret Indonesia melalui mata tiga pengamen muda yang humoris dan gigih menjalani hidup, berada di posisi ketiga dengan 1.673 penonton.
Lalu? Ya, sudah. Gitu aja. Masalah ini lebih baik kita kembalikan sebagai urusan produser dan pebisnis bioskop. Nggak perlu mempolitisasi. Soalnya percuma juga sih kalau kita politisasi. Kalau terkesan mendukung pihak siapa pun, mereka -para politikus- itu nggak mikirin nasib kita juga. Yang jadi prioritas mereka kan cuma melanggengkan kekuasaan dan membayar upeti untuk partai, ditambah harus mengabdi kepada mafia yang menjerat mereka.
Leave a Reply