Tahun Politik 2014 baru bergulir. Tahun ini kita akan memilih wakil rakyat dan presiden yang sepaket dengan wakilnya. Tampang para calon makin sering muncul lewat televisi, website, media social, banner, buzzer, dan spanduk di jalan.
Setiap orang tentu bebas memilih siapa jagoannya. Begitu pun dengan yang suka terhadap capres tertentu. Sebagai warga negara yang dididik dengan demokrasi seadanya, kita bebas memilih. Kita bebas suka dan tak suka terhadap satu capres.
Beberapa temanku suka banget sama sosok Gita Wirjawan. Yang lain sukanya sama Prabowo Subianto. Ada juga yang berharap Jokowi jadi Presiden Indonesia menggantikan SBY. Yang berharap ke sosok Dahlan Iskan pun tak sedikit. Ada juga yang menyebut nama Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Wiranto, Chairul Tanjung, dan Hari Tanoe. Entah nama siapa lagi yang akan muncul. Mahfud Md., JK, boleh jadi Megawati. Bagaimana dengan Bang Haji Oma Irama? Hahaha, bisa saja nama itu kembali mencuat.
Dari banyak nama yang beredar, lebih banyak yang tak kusukai. Kenapa aku tak suka? Tentu ada alasan tertentu yang memicunya. Salah satunya adalah rekam jejak mereka yang kuketahui dari media maupun lewat obrolan diam-diam. Bagaimana bisa suka jika masalah yang seharusnya mereka benahi tak juga selesai. Bagaimana bisa kusukai jika citra buruknya masih melekat di kepalaku?
Lalu apakah ketidaksukaanku terhadap beberapa nama bisa berubah? Bisa saja. Aku bukan orang yang menolak perubahan. Begitu pun terhadap orang-orang yang dalam rekaman informasiku tak menyenangkan, bahkan cenderung menyebalkan. Jika mereka menuntaskan masalah yang menyertai namanya, kenapa tidak?
Setiap orang selalu punya kesempatan untuk memperbaiki diri dan memperbaiki kesalahan sejarahnya. Walaupun tak berarti sejarah kelamnya akan terhapus begitu saja. Buka saja kembali rekam jejak mereka sejak zaman Orde Baru, masa konflik pra reformasi, hingga zaman koalisi yang penuh dengan ketidakjelasan sikap pemimpin partai politik. Hari ini dukung pemerintah, besok berseberangan. Hari ini koalisi dengan partai musuhnya, besok saling tuding lagi. Benar-benar pembelajaran politik tak simpatik dan pragmatis. Pertimbangannya hanya satu: BANGSA, akronim dari Bangku Kekuasaan.
Jika seperti itu calon presiden kita, bagaimana aku bisa menaruh kepercayaan? Jika masih saja memperalat konstituen demi “bangsa”, bagaimana bisa dibilang benar-benar punya niat memperbaiki keadaan. Alih-alih bisa memberantas korupsi, saat belum jadi asaja sudah plin-plan dalam menentukan siapa kawan dan siapa lawan. Sikap yang seolah-olah tegas gampang banget berubah saat ditawarkan iming-iming. Bisa kubilang yang mereka praktikkan adalah politik transaksional. Selama menguntungkan bagi dirinya, lawan pun menjadi kawan.
2014 kita masih mau mempertaruhkan masa depan bangsa kepada orang-orang seperti itu?
Leave a Reply