Waktu ramai kasus pelecehan seksual diutas di twitter, banyak yang berdiri di belakang sang pengetuit yang disebut korban. Malam itu aku perhatikan twitterland, banyak sekali kecaman ditujukan kepada lelaki yang dianggap pelaku pelecehan seksual tersebut. Hm…, aku tak berani bersikap. Aku tahu bagaimana lelaki itu, dari temannya temanku yang pernah main sama dia. Meskipun kesannya ia lelaki doyan, tapi aku tak berani terburu-buru mengikuti arus hujatan para pembela korban pelecehan seksual. Netizen kita yang susah diminta diam.
Besoknya makin ramai kecaman terhadap tertuduh pelaku pelecehan seksual itu. Bahkan teman-teman dekatnya ikut mengecam. Beberapa brand juga menyatakan tak lagi terkait dengan lelaki sial pelaku pelecehan seksual tersebut. Apapun yang dikatakan oleh tertuduh pelaku, semua disangkal. Apapun argumen pihak tertuduh, harus ditolak, dikensel. Cancel Culture jadi tren ketika ada kejadian. Tidak salah, namun bukan juga satu-satunya cara yang baik untuk menyikapi kasus yang belum tentu kebenarannya.
“Dalam kasus pelecehan seksual kita gak bisa nunggu pembuktian!” Kata beberapa orang. “Jadi cerita korban saja, cukup. Buat speak up itu nggak gampang lho! Perlu waktu lama buat korban mengumpulkan keberanian untuk speak up!”
Benar. Aku sepakat jika korban harus didukung 100 persen. Aku juga tak suka dengan orang yang melakukan pelecehan seksual. Apa lagi aku pernah mengalami posisi sebagai korban. Tahu kok rasanya gimana. Mau cerita, malu. Giliran cerita, teman yang biasa membela hak-hak perempuan terlihat biasa saja. Gesturnya seolah tak menganggap ceritaku penting karena aku cowok. Cuma bilang, “Oh, kamu pernah jadi korban juga. Oke kalau begitu.”
Berbulan-bulan akhirnya kasus pelecehan seksual yang yang ramai di media sosial itu tak kunjung tuntas. Mediasi yang diharapkan pihak tertuduh tak kunjung terjadi. Upaya hukum yang dilakukan pihak tertuduh dianggap sebagai kejahatan pula. Padahal masih tertuduh, tapi seolah publik sudah jatuh vonis bahwa si bangsat itu pelaku pelecehan seksual. Cukup cerita orang yang mengaku korban, maka mampuslah lelaki yang dituduh pelaku pelecehan seksual. Kariernya hancur, temannya kabur, orang-orang yang bekerja dengannya pun kalut karena tak ada pekerjaan.
Apakah tertuduh pelaku pelecehan seksual harus disiksa sebegitu rupa?
Aku pernah lakukan cancel culture terhadap seorang koruptor. Aku lakukan itu bukan sekadar mengikuti arus netizen namun karena sudah jatuh vonis pengadilan dan si pelaku merasa perlu dikasihani. Kontan saja aku naik pitam. “Lo udah ngembat uang bansos terus lo merasa tersiksa dengan apa yang dilakukan netizen dan hukuman yang lo terima dari KPK?” Itu kulakukan karena memang aku yakin bahwa vonis yang dijatuhkan pengadilan sudah cukup untuk bersikap kepada pelaku pelecehan bansos itu.
Jadi begitulah soal Cancel Culture. Menurutku sebaiknya kita harus punya data yang kuat dulu untuk mendukung aktivisme tertentu. Jangan sembarang melihat trending topic. Ya, bebas aja sih setiap orang menyikapi tren, tapi kalau aku sih nggak mau serampangan sebab kadang kala kita gak sadar kalau sudah main hakim sendiri. Seperti mukulin bareng-bareng maling ayam, yang ternyata yang kita pukulin kurir ojol yang lagi lewat.
Leave a Reply