Ini hanyalah ingatan kecil ketika aku seharian menelusuri Baduy Dalam. Pada perjalanan itu, aku dan teman-teman dibimbing oleh Ayah Aja, seorang warga Baduy Dalam dari Cibeo yang menjemput dan juga mengantarkan kami pulang. Sepanjang perjalanan bersamanya, banyak kearifan yang diserap oleh rombongan.
Perpisahan dengan Ayah Aja hampir tiba. Kami sudah tiba di gerbang Baduy Luar. Aku merasa betapa berat meninggalkan Ayah Aja. Ia sudah sangat baik menjaga dan melayani kami. Seperti ayah kami sendiri. Ia tak menunjukkan kelelahan sedikitpun, agar kami tetap semangat menapaki tanah. Ia bahkan membantu kami dengan memberikan jalur yang mudah untuk dilintasi dalam perjalanan pulang, di mana tenaga dan semangat kami jelas berkurang.
Dengan “jalur khusus” itu, kami bahkan bisa mendahului sekelompok tamu yang sebelum kami pindah track, mereka sudah berada 3 bukit di depan kami. Salah seorang dari kelompok itu ada yang bertanya kepada kami, “Koq bisa duluan, sih? padahal kalian sebelumnya jauh di belakang kami?” Aku tak akan memberikan jawaban tentang track khusus yang boleh dibilang sebagai hadiah dari Ayah Aja untuk kami. Aku hanya bilang, “Kami didampingi oleh ayah kami dari Baduy Dalam, itu dia orangnya, Ayah Aja, sedangkan kalian tidak didampingi… mungkin itu yang membuat kami bisa lebih cepat”. Sebenarnya buatku bukanlah hal penting, siapa yang lebih dahulu sampai. Yang penting adalah, semua tamu Baduy Dalam, bisa kembali dengan selamat ke tempat asalnya masing-masing, dengan membawa hikmah dari perjalanan tersebut.
Saat membutuhkan tongkat untuk temanku yang kakinya terkilir karena jatuh, Ayah Aja tidak sembarang mencari batang pohon. Ia bergerak cepat memasuki hutan yang kami lewati dan kembali membawa kayu dari pohon yang layak tebang. Mereka, saudara kita di Baduy Dalam, tidak akan pernah asal tebang. Mereka lebih memilih untuk mencari batang pohon yang memang sudah sepantasnya digunakan. Itulah salah satu kearifan yang bisa kami serap.
Begitupun ketika menemukan seekor Kalajengking yang melintas di jalur perjalanan kami. Ayah Aja melarang kami memindahkan Kalajengking itu. Memindahkan saja tak boleh, apalagi membunuhnya karena curiga Kalajengking itu akan mengganggu kami. Ia menjelaskan padaku, biarkan saja kalajengking itu hidup. Kita tidak punya hak untuk mematikan ciptaan Yang Maha Pencipta. Biarkan kalajengking itu menjalankan hidupnya sebagai kalajengking. Kamipun hanya memperhatikan saat kalajengking itu menjauhi jalur lintasan kami. “Kalau kita singkirkan tanpa membunuhnya, boleh?” tanyaku. Ia tersenyum dan kupahami jawabannya,
“kita tak tahu ia mau kemana. Jangan menjauhkan ia dari tujuannya.”
Belum lagi soal uang yang diselipkan di pepohonan. Kukira uang yang terselip itu adalah bagian dari sesembahan terhadap “keghaiban” yang menguasai tanah Baduy ini. Rupanya tidak serumit itu. Ayah Aja menjelaskan bahwa uang yang diselipkan itu adalah uang tamu yang jatuh dan ditemukan oleh warga Baduy. Mereka tak akan mau mengambil uang tersebut karena bukan haknya. Karena itu mereka menyelipkannya pada pepohonan yang terdekat dengan letak jatuhnya uang itu. Betapa kita bisa belajar dari sikap seperti itu.
Soal masakan. Ini yang juga kuperhatikan. Ia menyiapkan sendiri masakan kami. Nasi dari beras simpanannya enak sekali dinikmati dengan lauk dan mie rebus yang kami bawa sebagai bekal. Mulai dari meniup selongsongan bambu untuk menyalakan tungku, menyiapkan segalanya, Ayah Aja tak mau kami membantunya. Ia lebih suka menyiapkannya sendiri untuk kami. Ketika makan, ia hanya makan sedikit saja di antara kami bersembilan.
Akhirnya kami tak bisa memungkiri sebuah perpisahan. Aku memeluk Ayah Aja. Gemetar dadaku ketika ia menepuk-nepuk punggungku. Rasanya mataku mulai berkaca-kaca. Namun perasaan ini tak hanya aku sendiri yang mengalami. Teman-temankupun merasakan berat yang sama untuk meninggalkan Ayah Aja. Satu persatu teman-temanku bersalaman dan memeluk Ayah kami seharian ini.
Demikianlah perjalanan kami. Sebuah perjalanan mencari kebijaksanaan budaya, perjalanan memahami moralitas langka, perjalanan menghormati sebuah suku yang tetap bertahan di tengah dinamika budaya global. Tidak banyak yang kami ceritakan, karena kami merasa tak cukup ilmu untuk menceritakan segalanya tentang Baduy Dalam. Mereka sendirilah yang pantas berbicara untuk kita dengar dan kita pahami. Kami hanya sekadar menyampaikan pesan, cukuplah kita merasa lebih tahu tentang mereka daripada mereka sendiri. Biarkan Baduy bicara sendiri tentang kehidupan dan sejarah mereka.
Leave a Reply