Kita hidup di zaman ketika orang begitu mudah dipengaruhi oleh sebaran tanda pagar (tagar) atau hashtag (#). Ketika muncul tagar #2019gantipresiden, banyak pendukung Jokowi yang kelimpungan. Mereka langsung reaktif dengan berbagai tagar untuk menutupi tagar #2019GantiPresiden. “Perang Tagar” dimulai kembali seakan tiada kenal henti. Jadi kalau kita mau melihat sudah sampai mana peperangan zaman now, cek tagar saja!
Apakah media sosial benar-benar bisa mengusung perubahan? Apakah media sosial bisa memicu pergantian presiden? Jawabannya bisa ya bisa juga tidak. Tergantung apa? Tergantung hashtag?
Hashtag seakan menjadi satu-satunya indikator keberhasilan tatkala nangkring menjadi trending topic (TT) di Twitter. Apakah hashtag yang nangkring sebagai TT mencerminkan suara rakyat nyata?
Padahal kalau cuma usulan bikin trending topic, itu perkara gampang. Tinggal bilang saja sama teman-teman yang biasa dapat orderan proyek buzzer di media sosial. Kelar! Atau kontak temanmu yang biasa dapat orderan bikin trending topic. Beres!
Contoh di atas merupakan Trending Topic yang dibuat oleh teman-teman di Aceh yang suka iseng. Mereka bikin hashtag mendoakan ketuanya menjadi TT nomor 3, padahal tweetnya nggak ada. Ya, itu cuma contoh. Belum lagi kalau mau pakai BOT. Sudah jamak kita ketahui di zaman politik media sosial ini, banyak juga bertebaran bot, yaitu twitan, status, like, retweet, atau aktivitas apapun di media sosial yang dilakukan oleh akun robot atau akun tidak nyata.
Jadi masih mau tergantung sama hashtag yang jadi trending topic? Ya, sebaiknya sih jangan sering tergantung. Nanti busuk. #eaaa
Kembali ke soal 2019 (Gue kalo nulis terlalu banyak ngelanturnya sih, maaf.), pertarungan antara Jokowi versus Prabowo memasuki jilid II. Sampai hari ini di kubu Jokowi sudah ada 9 partai politik yang menyatakan dukungannya. Kubu Jokowi yang pernah disebut sebagai Jokodok oleh Rizieq Shihab, sepertinya tak kelihatan saling mengiris untuk posisi cawapres. Kelihatannya transaksi politik dari kubu ini mudah mencapai kata mufakat. Berbeda dengan Kubu Prabowo yang terlihat masih bimbang antara memilih kepentingan partai Demokrat atau memilih hasil Ijtima Ulama.
9 Agustus malam Jum’at Jokowi mengumumkan Cawapresnya adalah K.H. Ma’ruf Amin. Pengumuman ini benar-benar mencengangkan kubu seberang. Banyak juga masyarakat pendukung Jokowi yang terkejut karena sebelumnya mengira yang menjadi Cawapres adalah Mahfud MD. Ternyata banyak yang kecele.
Apakah pasangan Jokowi-Ma’ruf mendapatkan simpati dari alumni gerakan 212? Menurutku sih nggak juga. Sejak target penurunan Ahok selesai saja, hubungan antara ketua MUI itu terlihat merenggang dengan para pecinta Habieb Rizieq Shihab yang dikoarkan sebagai pemimpin ummat Islam berkode 212. Bahkan GNPF-MUI pun sudah berubah menjadi GNPF-U (Ulama) yang akhirnya berijtima untuk mengusulka n Cawapres untuk Prabowo.
Aku malah jadi kurang sreg melihat paduan Jokowi-Ma’ruf yang disebut juga sebagai kolaborasi Nasionalis-Relijius. Seolah pencantolan sang Kyai hanya strategi untuk meraup suara umat Islam, khususnya NU. Kurang sreg karena lagi-lagi tokoh agama dijadikan tameng untuk mendulang suara saat Pilpres saja. Kalau begitu apa bedanya dengan kubu sebelah yang sama-sama menggunakan isu agama sebagai tameng politik?
Front Pembela Islam, sebagai salah satu ormas yang mengaku berjuang membela ulama, belakangan hari ini mengeluarkan peringatan dalam bentuk sebaran di media sosial dan aplikasi perpesanan. Mereka memperingatkan agar Prabowo menuruti hasil obrolan para ulama yang pernah bersama-sama melakukan gerakan 212 untuk memenjarakan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Kesepakatan para ulama pada 27 Juli 2018 disebut sebagai Ijtima Ulama memutuskan bahwa capres buat Prabowo Subianto adalah antara politikus PKS Salim Segaf al-Jufri dan pendakwah terkenal Abdul Somad. Kalau sampai Prabowo tak menuruti hasil Ijtima Ulama ini bagaimana?
Ini banner resmi dari FPI…
Apakah Prabowo Subianto akan mematuhi amanat Ijtima Ulama? Sekuat apa Prabowo menghentikan tarikan kuat kubu Demokrat yang memiliki calon sendiri untuk Cawapres. Kabarnya SBY masih ngotot agar Prabowo mau disandingkan dengan putera mahkota Cikeas: AHY, yang waktu ketemu di gerbang tol Cawang memberi hormat pada saya (MT).
Akhirnya kita tahu sendiri jelang tengah malam, di tanggal yang sama dengan pihak sebelah, Prabowo memilih Sandiaga Uno sebagai Cawapres. Kaget juga? Nggak terlalu, sih. Sejak kemarin memang isunya sudah santer meskipun pihak Demokrat maupun Ijtima Ulama sepertinya kurang suka atas pilihan Prabowo.
Ya, kita lihat saja bagaimana sikap Alumni 212 dan Demokrat, apakah mereka akan membangun poros ketiga?
Masih dari kubu 212. Sepertinya ada ketidakterimaan diam-diam dari alumninya. Dalam rakornas PA 212, ada beberapa nama capres yang direkomendasikan di antaranya Prabowo Subianto, Anies Matta, Anies Baswedan, Yusril Ihza Mahendra dan M Zainul Majdi atau TGB.
“Saya menyesalkan di forum ijtima ulama di Menara Peninsula tak memperkuat keputusan rakornas PA 212. Kenapa mesti buat keputusan lain? Padahal ulama yang datang itu-itu saja. Saya kira satu marwah. Kenapa kok lain keputusannya? Kenapa tidak memperkuat hasil rakornas?” kata Ketum Presidium 212, Aminuddin.
Mungkin bang Aminuddin kurang update soal hasil Ijtima Ulama. Mungkin ia kurang mengerti dinamika politik yang amat cepat berubah, sehingga hasil kesepakatan para ulama pun bisa saja berubah. Namanya juga ulama politik. ya, kan! ya, kan!
Kalau aku sih masih tetap pada prinsip semula. Siapapun calon presiden dan calon wakil presiden yang sah, itulah yang mesti kupilih. Lalu siapapun yang menang, mau Jokowi kek, mau Prabowo kek, ya terima aja dengan lapang dada meskipun dadaku tak selapang tanah petani yang digusur buat lapangan terbang.
“Tapi politik ini kan bikin media sosial kita jadi rentan konflik, Te?” Kata Prak Dung Cret, seorang motivator bangkrut.
Ya, namanya juga politik, sejak lahir politik memang tujuannya untuk memenangkan kekuasaaan dengan berbagai cara yang kompromistik maupun yang kontrontatif. Kalau kita tidak siap menerima situasi politik, ya matikan saja televisi, media sosial, gadget, radio, dan segala apapun yang bisa membuatmu sedih karena melihat pertengkaran politik tanpa jeda iklan sedikit pun.
Begitupun di media sosial. Kita sudah belajar sejak 2012 bagaimana media sosial menjadi medan pertengkaran bangsa yang mudah diombang-ambingkan oleh sebaran hoax dan fitnah ini. Kita sudah belajar sejak pemilihan Gubernur DKI, Pilpres 2014, hingga hari ini. Sebuah pelajaran politik yang nggak kelar-kelar.
Kesal sih memang melihat pertengkaran sesama temanku yang memang berada di kedua kubu yang berseberangan. Tapi karena keseringan melihat semangat juang mereka, keseringan menyaksikan kenaifan mereka, dan keseringan melihat kebodohan mereka dalam menyebarkan kebencian maupun loyalitas lebay, membuatku jadi terbiasa dengan itu. Bahkan kalau melihat postingan mereka yang lebay dalam memojokkan lawannya, aku tertawa saja. Anggap saja hiburan gratis saat para pelawak idolaku satu persatu makin habis. Warkop tinggal Indro, Jayakarta Group habis, Srimulat tinggal cerita di medsos saja, dan pelawak lain. Ada juga sih pelawak yang masih hidup, tetapi karena terbawa arus politik setelah menjadi anggota legislatif, udah nggak lucu lagi.
“Yakin lu nggak kesel, liat postingan copras-capres, Te?” Sentak Bang Namun dari pos ronda.
Nggaklah. Biar aja mereka begitu. Dibilangin juga susah. Sama seperti kita kasih pertimbangan buat orang yang sedang jatuh cinta. Mau kita bilang apapun tentang pasangannya, tetap saja baginya daya hidup. Nggak gampang mengubah para pecinta kecuali mereka menemukan sendiri kekecewaan pada saatnya.
Yang penting sih, begini. Siapapun presiden terpilih nanti, ya terima saja. Dukung sepantasnya dan kritik sewajarnya. Nggak usah sering-sering ngegaslah.
Jadi kesimpulannya 2019 ganti presiden gak?
Ya, gantilah! 2019 harus ganti presiden, dari presiden ketujuh jadi presiden kedelapan. Nah, soal siapa presidennya, ya kita lihat saja nanti di hari H. Mau Prabowo atau Jokowi, ya terserah rakya banyakan pilih yang mana. Kalo aku sih kemarin meskipun bukan bagian dari relawan Jokowi, aku pilih Jokowi-JK ketimbang Prabowo-Hatta. Kalau 2019 nanti, belum tentu pilihanku sama. Belum tentu juga pilihanku berubah, tergantung paku yang ada di bilik suara, yang saat aku lempar, terserah paku itu mau jatuh dan merobek muka siapa.
Leave a Reply