Ketika orang dewasa saling memainkan isu perbedaan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) untuk kepentingan politik, anak-anak Indonesia dari beragam SARA dan kelas sosial berbeda, menampilkan sebuah harmoni dari kebhinnekaan bangsa ini.
Tepuk tangan dan teriakan salut tak henti-hentinya meriuhkan setiap akhir penampilan puluhan anak-anak yang tergabung dalam The Resonanz Childrens Choir, Minggu sore, 9 April 2017 di Teater Ciputra Artpreneur.
Konser berjudul A Decade of Harmony asuhan konduktor Avip Priatna menampilkan beberapa lagu daerah, seperti Janger (Bali), Ondel-ondel (Jakarta), Bungong Jeumpa (Aceh), Rambe Yamko (Papua). Lagu lain dari beberapa negara juga dinyanyikan dengan kesempurnaan memukau. Once Upon a Time in China (China), Tancnota (Hungaria), Music Down in My Soul (Amerika), Gnothi Safton (Yunani), La Pastorella Delle Alpi (Italia), Der Wasserman (Jerman), J’entends le Moulin (Perancis), Libertango (Argentina), Las Amarillas (Meksiko), dan Tanah Air (Indonesia) dinyanyikan dengan baik. Bukti, bahwa The Resonanz Childrens Choir (TRCC) kerap menjuarai berbagai kompetisi paduan suara di berbagai negara.
Apakah anak-anak ini dipaksa dewasa dengan menyanyikan berbagai lagu kelas kompetisi choir internasional? Nggak, koq. Aku menyaksikan sendiri bagaimana kekanak-kanakan mereka begitu nyata dalam setiap penampilan. Aku menikmati lagu orang dewasa yang dibawakan dengan cara anak-anak. Bahkan kebocahan mereka terlihat menggemaskan kala menyanyikan lagu pembuka konser ini, Nyanyian Gembira (Mochtar Embut) dan pada medley Pamanku Datang, Kampung Halamanku, Aku Anak Gembala (A. T. Mahmud dan Ibu Sud).
Aku terpukau juga kala anak-anak ini menyanyikan lagu Flashlight, Grease, dan We Will Rock You. Lagu orang dewasa apapun berhasil mereka nyanyikan tanpa mengubah karakter anak-anak.
26 lagu mereka nyanyikan dan kerap aku tak sanggup menahan air mata haru dan bangga melihat penampilan mereka. Standing applause dari ratusan hadirin menggenapkan setiap jeda. Speechless menyaksikan anak-anak ini.
Di tengah menikmati konser itu, aku teringat sebuah komentar di channel youtube yang menampilkan rekaman anak-anak TRCC. Sebuah komentar yang menurutku tak perlu ditanyakan, sebagai bangsa yang bhinneka.
Andai penulis komentar itu menyaksikan langsung konser TRCC, ia akan melihat sendiri bahwa anak-anak TRCC adalah anak-anak dari keluarga beragam agama di Indonesia. Mereka (anak-anak TRCC) sama-sama menjiwai kala menyanyikan Janger, Rambe Yamko, maupun Bungong Jeumpa, sebab mereka dididik sebagai anak Indonesia, anak berbudaya, bukan hanya sebagai anak beragama apa.
Tapi begitulah mungkin bangsa kita. Selalu saja ada mereka yang merasa hanya suku atau agamanya saja yang baik dan paling pantas melakukan segala kebaikan bagi tanah air Indonesia. Padahal bangsa ini memang berbeda-beda sejak adanya. Tuhan menciptakan kita beragam dan keragaman itulah yang membuat bangsa ini bertahan dari ancaman perpecahan SARA.
Di penghujung konser, aku tertambat pada rangkaian kata dari Devi Fransisca, salah seorang pelatih TRCC. Pesan dari seorang kakak kepada adik-adiknya. Hanya sedikit yang kucuplik;
Bangunlah bangsa ini dengan apa yang Tuhan karuniakan. Jangan menyerah dan buka mata kalian.
Pembangunan harus dimulai dari diri kita sendiri. begitu pula dengan cinta tanah air.
Kalian adalah tunas harapan bangsa. Ukirlah masa depan kalian dengan pena masing-masing.
Milikilah kesetiaan. Yakini dan perjuangkanlah sesuatu.
Ketika egois dibela, lawanlah dengan empatimu dan prestasimu. Jadilah manusia yang dibutuhkan oleh tanah air tercinta.
Konser usai. Dalam perjalanan pulang, aku kembali menyaksikan perseteruan para pembela calon gubernur yang saling mencemooh di media sosial. Sungguh bangsa ini teramat menyedihkan sebab terlalu mudah dijebak dalam amarah demi kekuasaan. Entah kapan kita bisa menyadari bahwa perbedaan bangsa kita tak mungkin diseragamkan, tetapi hanya mungkin diharmonikan.
Leave a Reply