Aku cuma bisa melafazkan doa sambil memerhatikan jasad berbalut kafan dan membulati tanah lempung basah untuk menahan jenazah almarhum di bawah sana, di liang kuburnya.
Tenggorokan ini seperti tersumbat entah apa. Sedih, iya. Terkenang, iya. Mau menangis, tak bisa.
Usai jenazahnya ditutupi papan, aku tak kuat saat melihat Fanan, anak ragilnya menerima pacul yang kuberikan. Anak itu tenang, ingin memacul gundukan tanah ke peristirahatan terakhir ayahnya. Aku tak sanggup menyaksikannya.
Aku pun meninggalkan prosesi selanjutnya. Menjauh di sudut area pemakaman. Menyendiri, memikirkan sesuatu yang lupa kutanyakan padanya.
Aku sendirian di sebelah petilasan tua. Tak memerhatikan apapun hingga tiba-tiba pakde Blontankpoer sudah berdiri di depanku. Memelukku dan…, kami tak berkata-kata…, kami berdua menangis sesenggukan. Aku tak merasakan lagi sumbat di tenggorokan. lepas tangisanku. Lepas. Sama seperti lepasnya tangisan pakde Blontank yang mungkin tersumbat sejak semalam. Air mata menggantikan kata-kata.
Om Nukman itu orang yang –insya Allah– ikhlas. Ia tak pernah menahan gengsi untuk bertanya kepada siapa saja saat ia tak tahu, saat ia penasaran dengan sesuatu.
Ia orang yang mau belajar dari siapa saja yang ditemuinya tanpa melihat siapa orang itu, sedekat apa, seakrab apa, apa jabatannya. Dan iapun sudi mengajar siapa saja tanpa menakar latar belakang mereka.
Satu hal yang belum terjawab dari kelakuan yang kerap ia lakukan padaku. Di basecamp ICT Watch, di warung usai ngisi di Festik Manado dan Bandung, di lantai 7 kementerian kominfo, entah di mana lagi. Yang paling kuingat, saat terakhir bertemu dengannya di acara Lenong Digital Rakyat (LDR). Kelar syuting LDR Ia menjepit kedua pipiku dengan kedua tangannya sambil menyuarakan sesuatu dari mulutnya, “emteeeee… jangan brenti!”. Lalu ia menggelengkan kepalanya sambil tertawa khas. Itu yang kerap ia lakukan padaku.
Selama ini aku nggak ngerti maksudmu, Om.
Tapi di pemakaman tadi –aku hanya menduga dan sedikit curiga–, apakah ia tahu kalau aku kerap merasa bosan dengan kegiatan literasi selama ini?
Ya, sejujurnya, kadang aku ingin berhenti dari semua aktivitas literasi dan media sosial. Ingin menyepi dari segala kegiatan berkomunitas. Berulangkali terpikir begitu.
Aku baru menyadari, mungkin ia tak ingin aku berhenti dari apa yang kupikirkan itu. Aku baru ingat saat duduk menyendiri di makam tadi. Teringat satu kalimat yang pernah ia katakan sekali waktu mengantarnya pulang jalan kaki ke stasiun Cawang.
“Jangan berhenti kalau belum selesai. Sampai kitanya yang selesai!”
Allah menyayangimu. Al-fatihah…,
#ripnukman
biografi Nukman Luthfie
Leave a Reply