Kekalahan 0-3 dari Brighton di Premier League yang hanya beberapa hari setelah tersingkir dari Piala FA dengan skor 1-2 oleh lawan yang sama, menambah daftar panjang keterpurukan Chelsea di era Todd Boehly. Sebagai pendukung The Blues, melihat tim ini tak lagi mampu bersaing di level tertinggi adalah hal yang menyedihkan. Chelsea yang dulu adalah raksasa Eropa, kini menjadi klub medioker yang bahkan kesulitan menembus empat besar. Apa yang terjadi sejak Roman Abramovich pergi? Bagaimana klub yang dulu menjadi momok bagi lawan-lawannya kini tak lebih dari bahan olok-olok?

Era Abramovich vs. Boehly
Di bawah kepemimpinan Roman Abramovich (2003–2022), Chelsea adalah mesin trofi yang mengerikan. Lima gelar Premier League (2004-05, 2005-06, 2009-10, 2014-15, 2016-17), dua Liga Champions (2012, 2021), dua Liga Europa (2013, 2019), lima FA Cup, dan berbagai trofi lainnya membuat Chelsea menjadi salah satu klub paling sukses di Eropa. Identitas tim adalah kemenangan. Kalaupun kalah bertanding, permainannya tetap membanggakan.
Sejak Todd Boehly mengambil alih pada 2022, Chelsea tidak hanya kehilangan trofi, tetapi juga kehilangan arah. Dalam dua musim penuh di bawah kepemilikan baru ini, Chelsea telah menghabiskan lebih dari Rp 17 triliun di bursa transfer, namun hasilnya? Gak ada trofi, gak ada strategi permainan yang jelas, dan lebih buruk lagi, gak ada harapan untuk bersaing di papan atas. Chelsea sekarang lebih mirip lapak jual-beli pemain ketimbang klub sepak bola elit.
Perbedaan mencolok antara kedua era ini bukan hanya soal jumlah trofi, tapi juga bagaimana manajemen klub dikelola. Abramovich memahami bahwa sepak bola adalah bisnis berbasis kemenangan. Dia tahu kapan harus mengganti pelatih, kapan harus mendukung mereka, dan yang paling penting, dia tahu bagaimana membangun tim dengan keseimbangan antara pemain muda dan pemain berpengalaman. Boehly tampaknya cuma melihat Chelsea kayak game Football Manager, membeli pemain dengan harga fantastis tanpa rencana taktis.

Kenapa Chelsea Turun Kelas?
- Kebijakan Transfer yang Kacau
Chelsea di era Boehly lebih banyak membeli janji daripada membeli kualitas yang sudah teruji. Contohnya, klub menghabiskan Rp 2,1 triliun untuk Enzo Fernández, Rp 2,4 triliun untuk Moisés Caicedo, dan mendatangkan pemain-pemain muda seperti Romeo Lavia dan Malo Gusto. Namun, hampir semua pembelian ini tak berdampak pada peningkatan performa tim. Bandingkan dengan era Abramovich, di mana Chelsea merekrut pemain matang seperti Didier Drogba, Petr Čech, dan Eden Hazard. Mereka sosok pemain yang memberikan dampak besar. - Nggak Ada Leader di Lapangan
Chelsea kehilangan figur pemimpin yang bisa menjadi panutan di lapangan. Dulu Chelsea punya Dennis Wise, Marcel Desailly, John Terry, Garry Cahil, dan Cesar Azpilicueta. Leader yang gak cuma kharismatik tetapi juga memiliki mentalitas juara. Sekarang gak ada pemain yang benar-benar bisa menginspirasi tim. Reece James yang diberi ban kapten, bukan sosok yang berkarakter seperti leaders sebelumnya. - Ngasal Pilih Pelatih
Di bawah Abramovich, pelatih dipecat ketika performa mereka buruk, tetapi hampir selalu ada rencana penggantian yang lebih baik. Contoh paling jelas adalah ketika Thomas Tuchel menggantikan Frank Lampard dan langsung membawa Chelsea juara Liga Champions 2021. Di era Boehly, Chelsea tampak asal menunjuk pelatih. Graham Potter adalah eksperimen gagal, Frank Lampard (interim) lebih seperti “pemadam kebakaran” tanpa hasil, Mauricio Pochettino sebenarnya mendingan tapi Boehly terlalu cepat mendepaknya, dan kini Enzo Maresca ditunjuk dengan filosofi yang menarik tetapi tanpa pengalaman menangani tim sebesar Chelsea. Maresca mengusung gaya permainan berbasis penguasaan bola seperti Pep Guardiola, tetapi kok nggak bisa nyerang. Di era Boehly ini, striker sekelas apapun yang diboyong ke Chelsea jadi seperti pengangguran yang frustasi karena nggak tau mau ngapain. Kekalahan melawan Brighton menunjukkan kelemahan mendasar dalam taktik Maresca, di mana tim tidak hanya buruk dalam bertahan tetapi juga tidak memiliki kreativitas di lini depan. - Nggak Ada Filosofi Permainan
Chelsea dulu dikenal sebagai tim dengan pertahanan yang solid, transisi cepat, dan efektivitas tinggi. Kini mereka jadi tim yang ngadi-ngadi, membingungkan. Gak jelas apa mereka mau menguasai bola, apa jadi tim yang mengandalkan serangan balik. Atau kembali seperti dulu, tim dengan pertahanan yang menakutkan penyerang lawan. Gak ada yang benar-benar tahu seperti apa karakter bermain Chelsea, termasuk para pemain sendiri.
“Yawda, Jan Sedi” ~ Kata Netizen +62
Sebagai penggemar Chelsea sejak main game FIFA 95, melihat tim ini jatuh dari status raksasa Eropa menjadi tim papan tengah adalah hal yang menyedihkan. Chelsea bukanlah klub sembarangan. Sebelum Abramovich, Chelsea adalah klub berkelas. Mereka meraih gelar FA Cup di tahun 1970, juara UEFA Cup Winners’ Cup di 1971 dan 1998, dan meraih kejayaan di Inggris akhir 90-an dan awal 2000-an.
Di bawah Abramovich, Chelsea menjadi klub yang benar-benar menakutkan. Dari kemenangan Liga Champions pertama di 2012 yang dramatis, hingga dominasi di Premier League bersama Jose Mourinho, Antonio Conte, dan kemenangan kedua di UCL 2021 di bawah Tuchel, Chelsea sering mengakhiri musim dengan trofi.

Kini The Blues kehilangan identitasnya, kehilangan karakternya. Kekalahan beruntun dari Brighton hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa Chelsea saat ini tidak lagi ditakuti. Chelsea butuh pemimpin yang menjadi panutan di lapangan, bukan di medsos. Baik pemimpin sebagai manajer maupun kapten tim. Nggak usah maksain harus jadi juara dulu deh, nggak usah maksain dapat trofi dulu, yang penting menang aja di setiap pertandingan, itu cukup. Maresca harus ngobrol sama Pep, Mou, dan mungkin Simone Inzaghi gimana cara membangun tim yang berkarakter.
Leave a Reply