Gagasan tentang perubahan harus ditransformasikan menjadi aksi nyata. Sebagus apa pun perubahan yang diinginkan, jika tidak dimatangkan dalam bentuk aksi, hanya akan berakhir menjadi obrolan. Tak mengubah apa-apa. begitu pun dengan gagasan perubahan yang digaungkan oleh Walikota Bogor, Bima Arya. Janji 100 hari yang pernah kuulas di blog ini bisa menjadi kenyataan atau hanya menjadi teks yang terlupakan.
Program 100 hari kerja yang prnah disampaikan Bima di antaranya ialah efisiensi sistem administrasi dan birokrasi publik, memperbaiki manajemen transportasi angkutan publik, meningkatkan kebersihan kota, dan menertibkan pedagang kaki lima (PKL).
Kini sudah 42 hari Bima Arya dilantik sebagai Walikota Bogor. Apakah janji 100 hari kerjanya akan terwujud? Dalam arti masalah tersebut di atas menjadi tuntas, kupikir sulit. Terutama dalam menata kembali sistem adminiatrasi dan birokrasi publik, Bima Arya akan berhadapan dengan jejaring “Muke Lama” yang terancam atas ide perubahannya. Mereka tak akan diam demi menyelamatkan kantong-kantong proyek (baca: korupsi). Kalau masalah lain yang berhubungan langsung dengan warga, seperti transportasi, sampah, PKL, dan penghijauan, akan lebih mudah. Sebab umumnya warga lebih bisa bekerja sama dengan pemerintah. Dengan kata lain, warga sih menurut saja dengan kebijakan pemerintah, terlepas birokrasinya korup atau jujur.
Menghadapi “Muke Lama” dalam jajaran pemerintahannya sendiri, maupun dalam jajaran multistake holder itulah yang menjadi PR bagi sang Walikota dan wakilnya. Apa lagi jika di dalam parlemen daerah, dukungan partainya amat sedikit dibandingkan partai lain. Kelembagaan yang lekat dengan proyek ini juga bisa menjadi batu sandungan. Sebab amat lazim dipahami bahwa watak partai politik ditentukan oleh kepentingan. Karena itu, bersandar pada partai politik adalah sebuah kenaifan.
Lalu siapa yang pantas menjadi kekuatan pendorong gagasan perubahan di Kota Bogor?
Komunitas! Ya, komunitas adalah kekuatan yang selama ini tak pernah dipandang penting oleh pemerintahan lama. Komunitas di Bogor amat beragam dan masing-masing menjalankan programnya secara mandiri. Mereka tak terbiasa mengemis anggaran untuk menjalankan kegiatannya. Jika Bima Arya dapat menjalin kerja sama dengan berbagai komunitas di Bogor, maka gagasan perubahan menjadi lebih mungkin terwujud.
Kenapa aku begitu yakin akan kekuatan komunitas? Perhatikan saja sendiri bagaimana geliat komunitas di Bogor. Selama ini program mereka berjalan dengan baik. Keragaman komunitas merupakan kelengkapan program perubahan. Ada yang bergerak dalam bidang kesenian dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, kebersihan, teknologi, UKM, wisata, sejarah dan heritage, dan media warga. Jika Bima Arya bisa merawat hubungan baik dengan para penggerak komunitas, sebagaimana yang ia undang saat “ngawangkong” di rumah dinasnya Sabtu, 17/5 kemarin, harapan perubahan akan lebih kuat. Sebab komunitas bukan sekadar bisa bekerja sama, tetapi sekaligus mengontrol agenda perubahan.
Community Power Network inilah yang dapat memberikan harapan perubahan bagi Bogor. Sebab mereka sendiri yang menginginkan perubahan dan mereka sendiri yang melakukannya. Tinggal bagaimana Pemerintah Kota Bogor mencari keselarasan program dengan komunitas, dan beberapa komunitas menyelaraskan program mereka dengan 5 prioritas program tahun pertama sang walikota.
Kelima prioritas program yang dipaparkan Bima Arya adalah; menata transportasi dan angkutan umum; menata pedagang kaki lima; menata pelayanan persampahan dan kebersihan; ruang publik, taman, pedestrian dan RTH; dan reformasi birokrasi dan pelayanan publik. Komunitas yang hadir saat “ngawangkong” kemarin tinggal menyelaraskan program mereka dengan kelima program prioritas tersebut.
Mungkin satu hal yang harus dilakukan oleh Pemerintahan Kota Bogor, adalah menyusun direktori komunitas di Bogor. Dengan begitu, akan lebih mudah dalam menyebarkan gagasan perubahan hingga ke sisi terpinggir dari wilayah Kota Bogor. Masih banyak komunitas di Bogor yang belum masuk dalam “radar” perubahan Bima Arya. Segeralah!
Leave a Reply