Sisa hujan masih membasahi malam. Rintik gerimis masih terlihat menebarkan cipratan pada genangan air di selokan. Di ujung toko yang sudah tutup, lebih banyak air hujan yang tumpah melalui pancuran. Dari pancuran itulah sumber air yang mengaliri selokan kecil di tepi trotoar, di depan pertokoan yang selalu tutup di atas jam 10 malam.
Seorang bocah duduk tak jauh dari pancuran. Tubuhnya bergetar menggigil. Kaos oblong kumal yang dikenakannya terlihat lepek kehujanan. Kadang cipratan air yang jatuh dari pancuran membasahi pipi atau dahinya. Dari ujung rambutnya, jatuh setetes demi setetes sisa air hujan yang mengguyurnya sebelum ia berteduh di depan toko kelontong.
Matanya mencelong pikirannya tak kosong, bekerja saat melihat lampu dan mendengar deru mobil dari ujung jalan. Bocah itu bergerak ke depan toko kelontong. Merunduk di balik rimbunnya pagar tanaman yang tumbuh di depan toko, di tepi trotoar. Pohon kembang sepatu. Beberapa bunga berwarna merah menjuntai di sisi dahi sang bocah lapar yang menggigil kedinginan. Ia petik setangkai, dibongkar hingga ke putik dan dihisapnya madu bunga yang memberikan rasa manis pada lidahnya. Rasa manis biasanya cukup ampuh untuk mengurangi rasa lapar.
Deru mobil sedan makin mendekat. Sang Bocah melesat menerobos pohon kembang sepatu menuju jalan. Brakkkk!!! Ia tertabrak! Tubuhnya terlempar dan menggelinding ke tepi trotoar. Kaki kanannya terendam di selokan kecil dan membuyarkan genangan air yang tadinya lancar mengalir.
Air di pancuran masih terus memancur.
Pengemudi sedan Fiat membuka pintu. Ia berlari ke arah bocah yang ditabraknya. Lelaki itu gugup. Berteriak pun tak sanggup. Kedua tangannya gemetaran antara ingin menyentuh bocah dan tidak.
“a, a, a…” sang pengemudi masih gugup. Kacamata tebalnya basah karena gerimis. Ia berlari kembali ke mobil yang dibawanya. Mendekati kaca jendela belakang yang baru terbuka.
“a, a, anak kecil, pak!” lapornya kepada lelaki bertopi putih layaknya juragan perkebunan milik orang Belanda.
Yang mendapat laporan menatap bocah yang masih tergeletak di tepi selokan. Ia memicingkan matanya. Kedua alisnya yang sedikit berwarna putih saling mendekat di antara pangkal hidungnya. Ia tersenyum lalu mengambil sebuah plastik berisi roti. Diselipkan juga beberapa lembar uang ke dalam plastik itu, “Taruh di sebelahnya. Kita tak punya waktu lagi. Ayo pergi!” ia memerintah sopirnya.
Sang pengemudi kembali mendekati bocah yang ditabraknya. Masih gemetaran. Plastik roti diletakkan di sebelah kepalanya. Tangannya masih bergetar, bimbang antara ingin membangunkan sang bocah atau tidak. Tapi batuk sang majikan membuatnya bergegas kembali ke depan kemudi. Sedan berderum dan melesat meninggalkan bocah berkaos oblong kumal.
Merasakan deru mobil menjauh, mata sang bocah terbuka. Dengan sigap ia mengambil plastik yang diletakkan di sebelah kepalanya. ia bergegas menuju pojokan toko yang sudah tutup sejak jam 10 malam tadi. Mulutnya sedikit meringis, menahan sakit yang terasa pada tulang kering kakinya yang terbentur tepi selokan yang hanya selebar kakinya.
ia duduk di pojok dan memeriksa isi plastik. “Hah roti!” Matanya berbinar lebar. Tak ada yang lebih bahagia dari pada mendapatkan sebuah roti gambang Tan Ek Joan yang sering dikhayalkannya. Sambil mengunyah gigitan pertama pada roti berwarna coklat yang di atasnya bertabur wijen, ia terbelalak melihat lima lembar uang yang ada pada plastik kresek hitam itu. “Hah, duit! Duit!” suara yang keluar dari mulutnya yang masih penuh dengan kunyahan roti. Ia melipat plastik berisi uang itu dan menyelipkan pada kantong celananya. Kembali gigitan demi gigitan ia puaskan terhadap roti yang jadi impian banyak bocah gembel seusianya.
*semoga bersambung*
Leave a Reply