Sikap ekstrem dalam beragama bukanlah fenomena baru dalam sejarah Islam. Sejak periode yang paling dini, sejumlah kelompok keagamaan telah menunjukkan sikap ektrem ini. Yang paling menonjol adalah apa yang ditunjukkan oleh kelompok Khawarij, yaitu mengafirkan umat Islam selain yang berasal dari kelompok mereka. Kelahiran Khawarij sebagian besar dibidani oleh kekecewaan sekelompok umat Islam yang berada di belakang barisan khalifah Ali bin Thalib, atas perkembangan situasi politik saat itu, yaitu peristiwa Tahkim, yang melibatkan kubu khalifah Ali ra. dan kubu gubernur Muawiyah. Kesediaan khalifah Ali untuk berdamai dengan Muawiyah—yang oleh kelompok ini doposisikan sebagai pembangkang—dianggap sebagai pengkhianatan terhadap bai‘at umat Islam yang diberikan kepada beliau.
Tidak berhenti sampai di situ, kekecewaan sekelompok umat Islam ini pun bermetamorfosis menjadi mosi tidak percaya terhadap khalifah Ali dan berujung pada terbentuknya sikap keagamaan kolektif, yang kemudian dikenal sebagai Khawarij.
Di seberangnya, muncul pula kelompok yang tak kalah ekstremnya dengan kelompok Khawarij dalam bersikap, yaitu Murji’ah, yang kemunculannya sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap ekstrem yang ditunjukkan oleh kelompok Khawarij. Berbeda dengan Khawarij yang rigid (serba tidak boleh), kelompok Murji’ah justru cenderung permisif (serba boleh) terhadap sejumlah ajaran Islam yang sudah terang benderang ketentuannya. Hampir dalam segala hal, keompok Murji’ah ini menjadi semacam antitesis dari kelompok Khawarij.
Terbentuknya satu gagasan, yang kemudian bermetamorfosis menjadi kelompok gagasan (baca: gerakan pemikiran), sejatinya memang tidak terlahir dari ruang kosong. Proses kelahirannya pasti terkait dengan situasi dan proses-proses yang berlangsung di sekitarnya. Proses kelahiran Khawarij dan kelompok-kelompok keagamaan lainnya menunjukkan hal tersebut.
Nah, jika saat ini muncul sikap-sikap ektrem dalam beragama, seperti yang ditunjukkan oleh sejumlah kelompok keagamaan, tentu kelahirannya terkait dengan apa yang terjadi dan dialami umat Islam saat ini. Misalnya, munculnya kecenderungan sebagian kalangan umat Islam untuk bersikap ekstrem dan ketat dalam memahami hukum-hukum agama, ternyata sedikit banyak terkait dengan kondisi real umat Islam yang berada dalam kemunduran dan keterbelakangan dalam segala bidang. Kelompok ini mengasumsikan bahwa kemajuan umat Islam, seperti yang pernah diraih generasi terdahulu, hanya dapat diraih dengan cara kembali kepada tradisi generasi terdahulu (as-salaf ash-shâlih). Dalam upayanya itu mereka mengutip teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan hadits) dan karya-karya ulama klasik (turâts) sebagai landasan dan kerangka pemikiran, tetapi memahaminya secara tekstual dan terlepas dari konteks kesejarahan. Sehingga tak ayal mereka tampak seperti “generasi yang terlambat lahir”, sebab hidup di tengah masyarakat modern dengan cara berpikir generasi terdahulu. Mereka tidak sadar bahwa zaman selalu berkembang dan telah berubah. Islam pun tampak sebagai ajaran yang ekslusif, jumud, dan tidak bisa sejalan dengan modernitas.
Kemunduran umat Islam vis a vis kemajuan Barat ternyata tidak melulu dihadapi dengan sikap percaya diri. Di kalangan umat Islam ada kecenderungan lain yang lahir dari sikap kurang percaya diri (kalau tidak ingin mengatakan rendah diri), terutama dalam menyikapi kemajuan Barat. Mereka bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain. Semangat untuk mengedepankan Islam sebagai agama yang selalu sejalan dengan perkembangan ruang dan waktu telah mendorong sejumlah kalangan untuk mengimpor berbagai pandangan dan pemikiran dari budaya dan peradaban asing yang saat ini didominasi oleh pandangan materialistik. Bahkan, tidak jarang dilakukan dengan mengorbankan teks-teks keagamaan melalui penafsiran kontekstual.
Munculnya kecenderungan-kecenderungan beragama yang lahir akibat menyikapi situasi dengan sikap ekstrem, seperti di sebutkan di atas, tentu saja tidak menguntungkan Islam dan umat Islam. Kecenderungan pertama telah memberikan citra negatif kepada Islam dan umat Islam sebagai agama dan komunitas masyarakat yang eksklusif dan mengajarkan kekerasan dalam dakwahnya. Sementara kecenderungan kedua telah mengakibatkan Islam kehilangan jati dirinya karena lebur dan larut dalam budaya dan peradaban lain. Yang pertama terlalu ketat bahkan cenderung menutup diri dalam sikap keberagamaan, dan yang kedua terlalu longgar dan terbuka sehingga mengaburkan esensi ajaran agama itu sendiri. Kedua sikap ini tentu bertentangan dengan karakteristik umat Islam yang dalam QS. al-Baqarah [2]: 143 disebut sebagai ummatan wasathan dengan pengertian “tengahan”, “moderat”, “adil” dan “terbaik”. Sifat wasath ini diperoleh karena ajaran yang dianutnya bercirikan wasathiyyah. Karakter dasar ajaran Islam yang moderat saat ini tertutupi oleh ulah sebagian kalangan umatnya yang bersikap radikal di satu sisi dan liberal di sisi lain. Kedua sisi ini tentu berjauhan dengan titik tengah (wasath). Mungkin ada benarnya ungkapan sementara kalangan yang menyatakan Islam tertutupi oleh umat Islam (al-Islâm mahjûbun bi al-Muslimîn).
Mengedepankan sikap moderat memang sangat bersesuaian dengan anjuran ayat di atas (dan ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang senafas), tetapi harus disadari sejak dini bahwa penerapannya bukanlah perkara gampang. Untuk itu perlu upaya-upaya rintisan agar “moderasi” atau wasathiyyah menjadi acuan berpikir, bersikap, dan bertindak umat Islam. Wallahu A‘lam.
penulis: Abd. Syakur Dj. | ditulis di halaman Facebooknya 7 tahun lalu (8 Feb 2016)
Leave a Reply