Curhat anak Comm

Suatu sore “anak-anak Comm” kumpul di sebuah warung kopi di bilangan Blok M. Merekalah yang mengelola komunikasi digital berbagai organisasi dan komunitas. Ada yang masih pakai ID card, ada yang matanya merah kurang tidur, ada yang masih ngedit konten. Kopi hitam pesanan mereka hampir dingin, tapi obrolan justru makin panas.

“Lu tau nggak, kemarin gua dikasih brief dadakan, disuruh bikin flyer buat acara. Deadlinenya 5 menit! Lah, bikin mie instan aja gak cukup 5 menit!” celetuk Raka, pengelola media sosial sebuah komunitas literasi.

Yang lain langsung ketawa, tapi tawa getir. Mereka semua pernah ngalamin hal yang sama.

“Gua malah dibilang, ‘Ah cuma bikin caption doang, gampang lah, pake AI juga bisa!’” tambah Lita sambil nyenderin kepalanya ke bangku. “Yaelah, emang enak baca caption hasil generate AI? Kaku, nggak ada emosinya!”

“Iya, gue aja, lama-lama apal banget tuh gaya penulisan AI sama bukan. saking udah banyaknya konten-konten yang bikinnya pake AI.” Sambung Juno, anak comm dari enjio (NGO) HAM.

Obrolan makin melebar, makin dalam. Anak-anak Comm ini bukan sekadar jago bikin flyer atau nulis caption. Mereka paham audiens, tahu kapan waktu terbaik buat posting, ngerti gimana cara ningkatin engagement. Paham kalo konten tuh harus dipikirin dulu sebelum dibikin. Bahkan mereka mikirin itu rencana konten saat lagi antre bus atau MRT atau KRL, tapi kenapa ya kerjaan mereka sering dianggap remeh?

Padahal bikin satu konten itu bukan cuma buka Canva atau ChatGPT. Perlu banget menentukan font, warna, komposisi gambar, semuanya ada strateginya. Belum lagi kalau klien atau bos tiba-tiba minta revisi karena katanya “kurang eye-catching.” Apa itu eye-catching? Kadang mereka sendiri nggak bisa jelasin.

Tapi di balik semua keluhan, ada juga kebanggaan. Bangga kalau kontennya viral dengan respons positif. Bangga kalau bisa bikin orang tertarik sama isu yang mereka bawa. Bangga saat melihat audiens terlibat dalam diskusi, bukan sekadar nge-like doang.

Sayangnya di banyak organisasi, anak Comm masih sering dianggap admin medsos biasa. Padahal mereka ini storyteller, jembatan antara organisasi dan publik. Bahkan mereka sebenarnya salah satu pilar organisasi yang harus dirawat, seperti organisasi merawat orang-orang program dan pilar lainnya. Kalau nggak ada mereka, siapa yang bakal menghidupkan komunikasi organisasi?

“Tapi menarik juga sih, kita kabur seminggu aja, semua anak comm. Demo, gitu. Kebayang gak sih, bos-bos kita gantiin kita ngonten?” Juno ngoceh sambil ngakak.

Yang menyentak adalah ketika ada yang tanya ke narasumber curhat, gimana caranya agar anak comm bisa dianggap penting sama bos-bos. Jawaban senior itu, “emang sejak kapan anak comm dianggap penting? dari dulu sampe sekarang ya sama aja kali.” lalu ia memberikan saran yang memecah kebuntuan pikiran.

Iya, kumpul kali ini nggak cuma saling curhat, tapi juga saling menguatkan. Dua orang senior anak comm banyak membuka mindset dan cara bersikap sebagai anak comm. Salut buat kedua narsum.

Jelang malam, satu persatu mulai pulang. Ada yang masih harus revisi konten, ada yang udah ditagih klien buat bikin postingan baru. Ada juga yang kabur karena harus loading peralatan buat streaming besok pagi. Warung kopi mulai sepi, tapi di kepala anak-anak Comm, masih ramai dengan ide dan tasklist konten. Aku memerhatikan mereka. Bangga, salut, tapi perih. Perihatin, maksudnya.


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

One response to “Curhat anak Comm”

  1. Defira NC Avatar
    Defira NC

    Peluk erat temen-temen comms. Si paling sering dapet kerjaan kilat, ngeluh, tapi tetep “dikerjain” ♡

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.