Tahun 2016 merupakan tahun yang penuh dengan berita teroris dan radikalisme. Tahun ini dibuka dengan peristiwa bom Thamrin pada 14 Januari, berentet pada bulan-bulan selanjutnya dengan penangkapan anggota terduga teroris dan beberapa peristiwa pemboman dan penyerangan terhadap anggota polisi. Tahun ini pun ditutup dengan beberapa operasi anti teror pada dua bulan terakhir, November dan Desember.
Sepanjang 12 bulan, berita tentang radikalisme selalu muncul melalui email. Aku mendapatkannya sebab memang sengaja memasang Google Alert dengan keyword radikalisme. Berita tersebut ada tentang upaya deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil, juga tentang peristiwa teror yang dilakukan berbagai kelompok radikal, yang dalam bahasa aparat keamanan disebut teroris.
Tokoh teroris yang semakin terkenal di tahun 2016 adalah Bahrun Naim. Geliatnya dalam melakukan koordinasi gerakan melalui online recruitment dan online propaganda menjadikannya terkenal. Sosok BN menjadi musuh utama POLRI, khususnya Densus 88 sekaligus menjadi idola kalangan aktivis anti NKRI dan memimpikan negara (khilafah/daulah) Islam di Indonesia. Pada beberapa channel anti thagut, seperti Anshar Khilafah Nusantara, Ansharud Daulah, Ansharul Islam, dan grup-grup kecil yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, BN adalah sosok mujahid ideal sebab pandai “ngerjain” antek Thagut dengan berbagai koordinasi online dan tak terlacak keberadaannya. Paling tidak, polisi cyber NKRI masih belum sanggup menelusuri jejak online (internet footprint) hingga menangkap BN.
Selain Bahrun Naim, tokoh yang sempat tenar adalah Salim Mubarak At-Tamimi yang dikenal sebagai Abu Jandal, tokoh ISIS asal Malang. Jaringan Abu Jandal cukup besar di sekitaran Jawa Timur. Penangkapan beberapa terduga teroris pada bulan Juni di Surabaya, adalah jejaring AJ.
Selain BN dan AJ, Santoso alias Abu Wardah juga merupakan sosok tenar lainnya. Kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpinnya di kawasan hutan Poso beberapakali berhadapan langsung dengan POLRI. Meskipun Santoso mati dalam baku tembak pada 18 Juli 2016, jaringannya di MIT masih bertahan. Tentu kematian salah seorang anggota, bagi kelompok seperti itu merupakan pemantik ruh jihad bahwa perjuangan mereka akan terus berlanjut melawan kuasa negara Thagut. Mereka semakin memantapkan keyakinan bahwa medan GURILA (Gunung, Rimba, Laut) dan Medan ISOM (Internet, Sosial Media, Messenger) sebagai medan jihad fie sabilillah.
Sosok lain yang selalu terkait dengan anggota teroris yang tertangkap Densus 88 adalah Aman Abdurrahman. Meskipun AA berada di penjara Nusakambangan, terbukti jejaringnya masih aktif menjalankan komando jihad dengan beberapa rencana pemboman. Salah satunya pemboman di Mapolresta Solo di awal Agustus 2016, yang menunjukkan adanya interaksi antara jaringan BN dan AA.
Kejadian bom di Medan dan Samarinda juga mengindikasikan keberhasilan jejaring kelompok Ansharut Tauhid dan Ansharud Daulah dalam melakukan aksi teror. Aksi-aksi tersebut berlanjut hingga kabar tentang penyusupan dalam demo 411 dan rencana pemboman Istana Negara yang mengejutkan berbagai pihak sebab calon pelakunya adalah perempuan.
Dua bulan terakhir, November dan Desember 2016 POLRI berhasil menangkap dan juga menembak mati anggota kelompok yang gemar ngebom. Peristiwa ini cukup melegakan? Tidak juga.
Seorang jurnalis TV pernah bertanya padaku, apakah dengan ditangkapnya anggota kelompok teroris oleh POLRI berarti negara ini aman dari peristiwa teror? Ntar dulu.
Kerja POLRI sejauh ini memang bisa dibilang cukup berhasil menggagalkan dan menangkap para pelaku teror namun tak berarti negara ini aman dari teror. Jika dikaitkan mulai dari gerakan-gerakan Anti NKRI di era 70, 80, hingga 90-an, kelompok pengusung ideologi anti Pancasila tetap saja ada. Dari dulu hingga kini kelompok tersebut tetap eksis dan semakin banyak sel-sel jejaringnya.
Memang ada beberapa orang dari kalangan tua yang “pensiun” tetapi gerakan ini selalu melakukan regenerasi. Perpecahan internal dari satu gerakan ini, bukan berarti membuat salah satunya berhenti, tetapi justru menjadikan semua pecahan jejaring itu sebagai ancaman beragam sebab masing-masing bekerja sesuai dengan prinsipnya sendiri-sendiri. Ada yang bekerja pada medan ISOM (Internet, Sosial Media, dan Messenger) maupun GURILA yang menyerukan agar anggota yang akan melakukan amaliyah sebelumnya menyimpan dan membuang segala identitasnya baik berupa KTP, SIM, dan sebagainya hingga mematikan semua akun media sosial tempat selama ini melakukan rekrutmen dan propaganda. Juga mematikan akun messenger/chat, yang selama ini dipakai untuk merekrut dan membina jaringan.
Lalu bagaimana menghukum anggota kelompok militan yang tertangkap? Apakah dihukum mati, penjara, atau ada hukuman lain yang bisa menyadarkannya bahwa Indonesia ini sudah bhinneka dari sebelum negara ini diproklamasikan. Aku sih nggak sepakat dengan hukuman mati, sebab itu menumbuhkan dendam keluarga dan karib kerabatnya. Apalagi bagi aktivis teroris yang demen nonton film India, di mana dendam dan cinta sebagai frame kehidupannya. #eaaa.
Dipenjara saja juga tidak selalu mengubah mindset. Tidak sedikit kejadian yang menunjukkan adanya rekrutmen dan pembinaan teroris dalam lapas. Lapas ibarat universitas yang meningkatkan derajat seorang tahanan kriminal menjadi tahanan ideologis. Perlu dipikirkan upaya deradikalisasi bagi para tahanan ideologis. Mungkin selain dipenjara, perlu hukuman kerja sosial di panti jompo atau di tempat-tempat yang menunjukkan keragaman. Misalnya membersihkan dan melayani penganut di rumah ibadah agama lain yang dibencinya agar dapat menyadari bahwa orang lain yang berbeda agama pun beribadah untuk kedamaian hidup mereka. Atau apalah bentuk hukumannya, yang penting bagaimana sang pelaku secara sadar mau mengubah mindset dan memutus rantai ideologis dengan jejaringnya. Memang mahal sih, tetapi jika dibandingkan dengan ancaman bom terhadap masyarakat sipil, jelas biaya menghukum anggota gerakan teror jadi sangat murah.
Apakah benar gerakan seperti ini merupakan gerakan yang sengaja direkayasa untuk menciptakan berbagai peristiwa ketidakamanan negara? Memang ada yang berprasangka seperti itu, tetapi menurutku selama prasangka tersebut tak disertai bukti yang kuat, sebaiknya lupakan saja. Tak ada bedanya prasangka seperti itu dengan hoax yang merajalela di jagad media sosial kita.
Lagi pula urusan kita bukan di situ. Benar atau tidak soal rekayasa, biarlah menjadi urusan intelijen. Dan biarlah urusan keamanan kita percayakan kepada pihak yang bertanggungjawab atas keamanan negeri ini. Yang sebaiknya kita lakukan adalah bagaimana menjaga agar keluarga dan kerabat kita tidak terpengaruh menjadi bagian dari gerakan-gerakan yang kerap mengatasnamakan agama, baik itu gerakan teror, intoleran, dan apapun yang memecahbelah kita dari keragaman suku, agama, ras, dan kebudayaan nusantara.
Kita kini hidup di era algoritma, di mana kebenaran dan kesalahan dipengaruhi oleh algoritma yang dibuat oleh layanan yang kita gunakan. Apa yang kita dapatkan melalui akun internet dan media sosial di smartphone kita mesti diteliti kembali. Begitupun penyebaran link dari grup ke grup seperti Whatsapp, jangan sembarang dipercaya. Sekali kita klik sebuah tautan disinformasi (hoax dan fake news) selanjutnya kita akan digempur dengan tautan serupa yang jika tak dikritisi dapat memengaruhi perilaku kita.
Menarik membaca artikel tentang manusia kekinian yang sangat dipengaruhi oleh algoritma. Berikut kutipannya,
“Algortima telah membentuk diri kita, mempertegas apa yang kita percayai benar dan cenderung membuat kita merasa yang paling benar. Lingkungan perkawanan di internet telah dieksploitasi oleh algoritma untuk membuat kita menari-nari hanya di sekitar lingkungan perkawanan tersebut. Kita cenderung menyukai apa yang disukai teman dan sering sangat cepat berpendapat sesuatu jelek hanya karena teman jalur pertemanan kita mengatakan hal tersebut jelek.” ~sociogeeks
Upaya counter narrative terhadap radikalisme dan intoleransi juga diinisiasi oleh berbagai kalangan. Ada yang melalui media sosial, situs, video, dan film. Salah satu film yang dibuat sebagai upaya deradikalisasi adalah Jihad Selfie buatan Noor Huda. Kegiatan workshop film tentang toleransi juga dilakukan oleh Suara Pesantren maupun INGAGE (interfaith new generation initiative and engagement) yang dilakukan ICRS di Medan, Manado, dan Ambon. Itu adalah contoh inisiatif masyarakat dan akademisi dalam menjaga toleransi di Indonesia.
ICT Watch pun melakukan berbagai kegiatan literasi digital di beberapa kota untuk menumbuhkan toleransi di ranah maya. Selain dengan kegiatan literasi digital, ICT Watch juga memproduksi film dokumenter tentang potret toleransi di media sosial dan bagaimana semua pihak bersama-sama melakukan literasi digital untuk isu toleransi dan radikalisme. Film berkode #LenteraMaya itu disebarkan gratis pada Januari 2017.
Leave a Reply