OTerminal Lebak Bulus sudah mulai dipadati pemudik lebaran. Mulai dari tua-bangka sampai anak muda belia, bahkan balita tumplek bleg di ruang tunggu terminal. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Ada yang menyusui bayinya, mainkan handphone genggam, membaca koran, melayani kondektur Bus yang menanyakan hendak kemana, sampai ada juga yang tertidur, juga yang menahan muntah.
Mudik sudah menjadi ritual tahunan yang tak bisa dibatalkan meskipun harus ditempuh dengan biaya mahal, kesesakan yang menyiksa, dan macet yang memanjang. Segala resiko harus ditempuh demi menunaikan “ibadah” mudik.
Aku iseng bertanya kepada beberapa pemudik, “2 hari lagi tujuhbelasan ya?”
Jawabannya beragam. Ada yang menggelengkan kepala saja, ada juga yang memonyongkan bibirnya lalu bilang, “lebaran kali maksudmu?”
“Bukan, mas. Maksudku 17-an, ulang tahun kemerdekaan negara kita.” Jelasku.
“Oh iya ya. Waduh, aku lupa eh” jawabnya jujur.
Bisa dimaklumi.sih, kenapa sampai ada yang lupa kalau 17 Agustus 2012, yang masih hari puasa merupakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Mungkin suasana H-4 Ramadhan membuat fokus banyak orang hanya ke urusan mudik dan persiapan lebaran sehingga melupakan momen tujuhbelasan.
Tapi lupanya beberapa orang terhadap Tujuhbelasan seperti bapak yang kutanya tadi, kuyakin tidak membuat mereka enggan merayakannya. “Wah berarti saya akan merayakannya di kampung. Lebih seru karena bareng sama teman-teman dan keluarga.” Serunya bahagia.
Hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia memang momen spesial bagi banyak rakyat di berbagai pelosok negeri. Ada saja cara khas dan spesial mereka untuk merayakan pesta bersama. Inilah bukti bahwa senjlimet apa pun masalah yang melilit Indonesia, rakyat tetap mencintai negara dan bangsanya.
Aku sendiri begitu. Meskipun kadang aku melancarkan twit berupa kritik terhadap pengelola negara, bukan berarti aku membenci Indonesia. Bagaimana pun kita dilahirkan sebagai anak bangsa. Mau kayak apa keadaannya, Indonesia adalah negara kita. Mau seperti apa situasinya, Indonesia adalah kita.
Justru kritik dari rakyat biasa seperti kita, yang sering disebut “civil society” merupakan wujud kepedulian tanpa kepentingan terselubung. Kritik rakyat terucap dengan tulus, tanpa mengharapkan jatah kuasa. Boleh jadi kritik rakyat mmerupakan sumbangsih terkecil yang dimiliki untuk perbaikan negeri.
Bahkan sebuah lagu pun bisa menjadi kado ulang tahun. Seperti lagu yang kuciptakan dan kunyanyikan terutama saat tujuhbelasan seperti hari ini. Lagu ini merupakan wujud cintaku kepada Indonesia.
“Berkibarlah bendera merah putih, dirgahayu Indonesia merdeka!” Begitulah kutipan akhir laguku.
Posted from WordPress for Android
Leave a Reply