Apakah social media memiliki kepedulian atas berbagai kasus di masyarakat? Boleh jadi ada yang bilang, Ya, tatkala kasus Prita yang berhasil mengumpulkan banyak koin dari berbagai pelosok masyarakat. Atau saat ada kasus Cicak vs Buaya, yang mengajak banyak orang untuk mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di luar negeri, kita pernah melihat bagaimana social media mampu mengerahkan massa dalam pergolakan di Mesir yang berhasil menumbangkan Hosni Mobarak. Kampanye Barack Obama juga bisa dijadikan contoh, saat tim kampanyenya berhasil menarik minat kaum muda apatis untuk memilih sang calon presiden. Contoh kasus lain mungkin bisa kita paparkan untuk lebih meyakinkan bahwa social media merupakan sarana efektif untuk menggalang massa.
Dari contoh kasus di atas boleh jadi kita sepakat bahwa social media activism sangat efektif dalam mencapai keberhasilan untuk menggiring opini banyak orang menuju satu titik yang kita inginkan. Keberhasilan itu pun menginspirasi banyak perusahaan untuk melakukan kampanye produk melalui social media. Dari situ mulailah sebutan buzzer menjadi sering diperbincangakan di kalangan netizen.
Namun jika kita mencoba lebih rinci, apakah social media activism menjangkau permasalahan kalangan masyarakat pinggiran, pelosok desa, atau kaum jelata yang tak memiliki kekuatan ekonomi untuk membela diri?
Ingat-ingatlah kasus yang menimpa Rasminah, nenek berusia 55 tahun, yang divonis Mahkamah Agung empat bulan 10 hari lantaran dituding mencuri enam piring dan bahan sup buntut milik majikannya. Warga Ciputat, Tangerang Selatan, itu harus meratapi nasib sebagai rakyat kecil yang sepertinya haram mendapat keadilan. Di sisa usianya, ia pun harus menanggung beban psikologis berat lantaran menyandang sebutan tak enak, yakni pencuri. [1]
Lagi, Nenek Minah, warga Banyumas, Jawa Tengah, divonis satu bulan 15 hari karena mencuri tiga buah kakao senilai Rp2.100 pada 2009. Kemudian Aguswandi Tanjung yang dipenjara 6 bulan kurungan karena dituduh mencuri listrik, padahal ia cuma menumpang mengecas ponsel di lobi sebuah apartemen.
Mimpi buruk penegakan hukum berlanjut di Palu, Sulawesi Tengah, saat seorang pelajar diancam hukuman lima tahun hanya karena mencuri sandal jepit seharga Rp30 ribu milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap. Pada sidang 4 Januari 2012, ia divonis bersalah, meski dikembalikan ke orangtuanya.
Nasib sial yang menimpa rakyat jelata seperti mereka merupakan bukti teramat nyata bahwa pedang hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Para penegak hukum di negeri ini kelebihan nyali ketika menindak para tunakuasa. Sebaliknya, mereka miskin akal dan keberanian untuk menjerat mereka yang disebut-sebut terlibat dalam perkara kakap, seperti Bank Century, Wisma Atlet, dan juga surat palsu Mahkamah Konstitusi.
Lalu apakah dalam kasus-kasus yang menimpa rakyat jelata, terutama kaum marjinal yang tak mengenal teknologi internet bisa mendapatkan kepedulian dari para aktifis social media? Memang saat itu masih ada di antara kita yang “ngetwit” tentang nasib rakyat jelata yang ditindas secara hukum oleh antek-antek peradilan. Tetapi dampaknya tak sebesar kasus yang dipaparkan di awal tulisan ini. Tidak sampai ada gerakan penggalangan massa untuk membela kaum yang benar-benar lemah secara ekonomi, politik, dan teknologi komunikasi.
Sepertinya kita mesti mengaji kembali kepedulian terhadap permasalahan yang menimpa rakyat jelata, orang miskin. Kebersamaan kita atas masalah yang tak terdeteksi social media harus diperkuat dan diperlebar daya jangkaunya. Coba lihat di sekitar kita, tentang ketimpangan sosial dan hal-hal “sepele” yang tetap saja intinya menyakiti hati nurani rakyat. Misalnya pungutan liar di sekolah-sekolah yang sudah dijamin kegratisannya oleh Pemerintah. Belum lagi dalam birokrasi desa/kelurahan Jakarta Timur, dimana masih saja tarif Rp.10.000,- untuk uang lelah pembuatan KTP bagi warga yang bermusibah kehilangan KTP. Masih banyak lagi kasus-kasus “sepele” yang bisa kita umbar di Social Media dengan harapan terjadi penggedoran oleh banyak orang agar ketimpangan tak semakin berurat-berakar.
Selama ini kita masih memanfaatkan social media (facebook dan twitter) untuk sekadar berbincang-bincang, berbagi pengetahuan, gosip, dan menjajakan produk pesanan agen buzzer. Kita harus mulai menegaskan diri untuk memfungsikan social media dalam membela rakyat kecil yang sering terjebak oleh para oknum pemangku kuasa. Situs Petisi semacam change.org bisa melengkapi blog, facebook, dan twitter sebagai alat untuk menggalang kekuatan massa. Hingga mencapai kondisi dimana vampire politik, birokrasi korup, –termasuk oknum kaki tangan penguasa– menjadi takut berhadapan dengan social media yang berubah wujud menjadi perlawanan rakyat yang sebenarnya. Nyata!
Dari mana kita harus mulai? Kupikir komunitas blogger dan entitas lain yang aktif dalam social media dapat memulainya untuk lingkungan masing-masing. Lebih baik lagi jika ada yang berkenan menyatukan semua kekuatan ini untuk harapan di atas, asal non-partisan. Kenapa? Simpel aja alasannya: terlalu beresiko jika melibatkan Partai Politik untuk tujuan mulia.
[1] Catatan kasus-kasus yang saya paparkan dapat dibaca di http://www.mediaindonesia.com/read/2012/02/01/295371/70/13/Tragedi-Keadilan-Nenek-Rasminah
Leave a Reply