Catatan Akhir Tahun: Jokowi di Tepi Jurang

Tahun 2023 ditutup bukan hanya dengan kembang api tengah malam tetapi juga dengan bunga-bunga janji para politikus. Pemilihan Umum yang akan dihelat pada 14 Februari 2024 makin terasa panasnya dan yang menjadi pusat perbincangan masih sosok Jokowi. 

Sejak menjadi Presiden Indonesia ketujuh, yaitu pada periode pertama kekuasaannya, Jokowi mendapatkan dukungan sangat besar dari berbagai lapisan masyarakat. Hanya satu sirkel yang membencinya, yaitu sirkel 212, para pendukung Prabowo-Hatta yang kalah Pemilu 2014.

Para pembenci Jokowi ini tak pernah istirahat dari aktivitas menyebarkan citra buruk Jokowi, terutama melalui media sosial. Ibaratnya, apapun keberhasilan Jokowi, mereka terus  memojokkannya hingga ke tepi jurang dan jatuh (lengser). Meskipun dibalut dengan doktrin agama, serangan mereka terhadap Jokowi tak mempan. Kharisma mantan tukang meubel ini tetap kuat di mata rakyat. 

Periode kedua Jokowi, setelah menang Pemilu 2019 membuatnya semakin bertaji.  Apalagi ia berhasil memprospek Prabowo-Sandi untuk bergabung ke kabinetnya. Ini langkah yang banyak bikin orang terperangah, kok bisa lawan politik saat Pemilu bergabung dengan pemenang? Itulah “mejiknya” Jokowi. 

Para pembenci yang masih dari kelompok 212 makin membenci Jokowi. Sekaligus membenci Prabowo dan Sandiaga Uno sebagai pengkhianat para Ulama yang hobi berijtima setiap Pemilu. Mereka makin gencar menggelincirkan Jokowi ke tepi jurang melalui berbagai platform digital. Bentar-benar teriak, lengserkan! 

Di luar kubu politik itu, banyak juga sirkel-sirkel lain yang mulai luntur kepercayaannya terhadap Jokowi. Sirkel ini mengkritisi pemerintahan Jokowi yang makin lemah dalam penanganan korupsi, soal HAM. Gonta-ganti menteri di kabinet juga menimbulkan kesan, antara gak becus mengelola kabinet atau tersandera oleh kepentingan partai politik koalisi. 

Memasuki Pemilu 2024, atraksi politik Jokowi makin berisiko. Makin hari posisinya makin mendekati tepi jurang. Hubungan dengan Megawati Putrinya Sukarno makin terkesan mengeras. Ide Jokowi menduetkan Prabowo-Ganjar dilepehin sama Mak Banteng karena merasa sebagai Partai Penguasa. Mak Banteng tak mau posisi Cawapres untuk petugas partainya. Tapi Mak Banteng lupa, Jokowi tak selamanya tunduk dalam tekanan Banteng. Pada saat Jokowi menunjukkan tanduknya sendiri, Mak Banteng terperanjat. Sang Petugas Partai kini berani melawan. 

Koalisi yang dibangun Jokowi untuk memajukan Prabowo sebagai “Petugas Jokowi” makin kuat. Beberapa partai politik merapat dalam barisannya. Kekuatannya makin unik dan di luar nurul bagi sebagian orang karena, sirkel dan tokoh politik yang dulu membenci Jokowi maupun Prabowo, rela bergabung memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.

Bahkan ada juga Partai Politik anak muda dan orang tua yang masih merasa muda, terang-terangan memuja dan memuji Jokowi. Mereka bahkan mengeluarkan slogan Jokowisme dan tegak lurus ke Jokowi. Plot twistnya, anak Jokowi diangkat langsung sebagai ketua Partai Politik mereka. Mereka merayakan pula dengan memasang spanduk di penjuru kota dan desa, salah satunya dengan slogan Politik Kurang Riang Gembira.

Yang paling mencolok adalah Angkatan 98 yang dengan bangganya mendeklarasikan sebagai pendukung Prabowo, sosok dari keluarga Cendana yang dulu amat sangat mereka benci karena hegemoni Orde Baru. Banyak juga aktivis yang kaget melihat Budiman Sudjatmiko jadi pendukung Prabowo. selentingan “yang diculik mengagumi sang penculik” ramai di media sosial. 

Tapi itulah politik. Hanya ada dua hal dalam politik: Dukung dan Telikung. Saat kepentingan dan transaksi cocok, tentu siapapun, yang dulunya lawan akan jadi pendukung. Kalau tak cocok, kawan pun akan menelikung langkah politik.  

Ini yang akhirnya disadari oleh kalangan rakyat jelantah seperti yang suka saya ajak ngobrol di warung kopi, trotoar Stasiun, ruang tunggu Bandara, dan dalam perjalanan bersama sopir taksi online. Mereka sadar bahwa politikus tak bisa dipegang mulutnya karena itu mereka tobat, tak mau lagi baper sehingga loyal sama tokoh politik. 

Sebagian rakyat jelata lainnya apatis terhadap politik dan demokrasi di Indonesia. Sikap itu merupakan imbas dari banyak fakta tentang perilaku busuk orang parpol, baik di parlemen, di pemerintahan, di bandara, pub, maupun di kamar hotel. #eh

Bagaimana kepercayaan masyarakat tidak luntur jika orang parpol acapkali mengkhianati konstituennya sendiri. Saat kampanye menebar janji, saat berkuasa sibuk mencari upeti.

Ah, sudahlah. Terlalu mudah mencari kasus-kasus yang dilakukan orang parpol di media maupun mesin pencari. Lupakan soal ini!

Pemicu apatisme lainnya adalah komplotan relawan. Naif jika kita menganggap relawan adalah orang-orang yang bekerja tanpa ada udang di balik bakwan. Tak semua relawan mengandalkan hati nurani. Mereka yang tahu kabar tak tersiar tentang relawan pendukung Jokowi dan Prabowo, paling cuma tersenyum ngenes kalau mendengar koar-koar bahwa relawan itu tulus dan tak menyembunyikan pamrih. Rupanya di antara para relawan itu ada juga yang mencari kesempatan. Ada yang “ngarep” jabatan, hadiah, atau pamrih lainnya. Kebetulan aku terkoneksi dengan beberapa orang relawan dari kedua kubu pada saat copras-capres 2014 kemarin, jadi ya tahu sendirilah bagaimana rupanya “oknum” relawan itu. Sengaja kutulis oknum agar selamat dari sikap reaktif anggota relawan yang mungkin tersinggung denganku, lalu menyebarkan isu devolunteerisasi. 😀

Langkah politik Jokowi di akhir 2023 dan dalam konteks Pemilu 2024 memang berisiko. Ia sepertinya sadar sedang berjalan sendiri di tepi jurang. Para pembencinya bukan lagi kaum 212 tapi juga dari pendukung lama yang meninggalkannya dan membelot ke kubu lawan politiknya. Apakah Jokowi akan terjun bebas ke jurang?

Tak senaif itu, wahai fans Man Yu! Mental Jokowi sudah terpatri sejak ia menjadi Gubernur DKI Jakarta. Hantaman finansial, tekanan rival, intimidasi politik, fitnah keluarga, bahkan tusukan-tusukan dari sirkel koalisinya sendiri, sudah biasa ia alami. Kijang bertanduk banteng ini makin kebal. Meskipun ia sedang di tepi jurang, tapi ia punya perhitungan yang teliti untuk mengambil langkah aman menjamin investasi dan pencapaiannya terjaga dan bisa dilanjutkan oleh Presiden berikutnya.

Jika Prabowo-Gibran menang, Jokowi akan meluncur santai dari tepi jurang menuju rumah yang nyaman dan bermain dengan cucunya. Mungkin mempersiapkan sang cucu agar bisa menjadi sosok yang lebih baik daripada dirinya. 

Jika Prabowo-Gibran kalah (ini kelihatannya tak mungkin), dia juga masih bisa aman karena capres lainnya (Anies maupun Ganjar) masih petugas partai yang akan tunduk sama bigbosnya yang juga bisa dengan mudah melakukan transaksi ulang dengan Jokowi. Sebab mereka hanyalah pion catur sedangkan Jokowi pemain caturnya. btw, siapa yang menemaninya main catur?

Author: mt blogger

Menurutmu?