Sipil Nyaru Militer: Mentalitas Para Penindas

Kasus pengendara Fortuner berpelat nomor TNI palsu baru-baru ini kembali menguak fenomena meresahkan di masyarakat, yaitu penggunaan seragam dan atribut militer oleh sipil. Peristiwa ini bukan yang pertama kalinya terjadi, dan menimbulkan berbagai pertanyaan dan kenyinyiran secara nasional di kalangan netizen.

Sekelumit contoh respon netizen di platfom X tentang kasus pemalsuan pelat mobil militer

Kang Maman pada akunnya turut menyuarakan keprihatinannya sebagai warga negara. Ia mengungkapkan rahasia umum, seperti kendaraan pribadi yang menggunakan rotator, lampu strobo, penggunaan plat merah, plat militer yang dilakukan pengendara kendaraan pribadi. dan yang juga membuatku sebal adalah jika sedang berada dalam kemacetan, yaitu suara tetot-tetot kendaraan orang-orang bermental penindas menembus kemacetan.

Bukan cuma kalangan pengusaha yang dengan kekuatan uangnya dapat bertindak semaunya untuk mendapatkan atribut militer palsu, namun ada juga organisasi kemasyarakatan (ormas) yang menggunakan seragam menyerupai militer di Indonesia. Ini juga fenomena yang kompleks dan multidimensi. Di satu sisi, ormas tersebut mungkin memiliki tujuan mulia dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan anggotanya. Di sisi lain, penggunaan seragam militer oleh ormas sipil menimbulkan berbagai kekhawatiran dan potensi bahaya dan merugikan masyarakat.

Saya juga muak melihat anggota ormas petantang-petenteng berlagak kayak tentara. Mau ormas keagamaan maupun bukan, sama saja kelakuannya: lebih galak daripada militer, lebih rakus daripada polisi. Terutama saat memalak sejumlah uang ke masyarakat, ke pabrik, warung, dan semua entitas masyarakat yang gampang ditindas.

Fenomena ini menunjukkan penyimpangan identitas dan rasa nasionalisme yang keliru di kalangan masyarakat sipil. Alasan psikologis seperti rasa insecure, ingin diakui, atau bahkan memiliki ketertarikan berlebihan terhadap dunia militer dan polisi juga bisa menjadi faktor pendorong mereka berbuat laknat. Ini merupakan fakta kesehatan mental masyarakat kita benar-benar perlu ditangani secara serius.

Di balik kasus gaya-gayaan “militer kw” ini, ditengarai adanya bisnis pemalsuan atribut militer. Kemudahan akses terhadap atribut militer palsu melalui platform online maupun offline menunjukkan celah keamanan yang perlu ditindaklanjuti. Hal ini bukan hanya merusak citra institusi TNI, tetapi juga merugikan masyarakat sipil yang selalu menjadi korban penipuan atau penyalahgunaan identitas.

Upaya penegakan hukum yang tegas dan konsisten harus dilakukan terhadap para pelaku pemalsuan dan penggunaan atribut militer ilegal. Selain itu, perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi yang masif kepada masyarakat tentang bahaya dan konsekuensi dari tindakan tersebut. Kita tahu masyarakat kita gampang jadi korban penipuan, institusi militer dan polri perlu turun tangan dengan cara yang cocok buat rakyat, bukan cara-cara yang kaku dan membosankan.

Khusus buat ormas, sebaiknya berani mengubah kebijakan organisasinya untuk tidak menggunakan atribut yang mirip dengan militer. Sudah saatnya menunjukkan kecintaan terhadap tanah air dengan cara yang sesuai dengan identitas kita. Kalau kita bukan militer, ya jangan berlagak militer. Ganti saja seragam anggota dengan atribut budaya lokal. Ini justru lebih keren ketimbang berlagak militer padahal keminter mundak keblinger.

Saat aku ingin menyelesaikan postingan ini dalam perjalanan dengan taksi, suara tetot-tetot penerobos kemacetan meneror dari belakang. “Hadeuh, kelengangan Jakarta saat lebaran sudah selesai. Bukan kemacetan yang kusesali tapi, kau taulah siapa yang sebenarnya ingin kumaki.” gumamku.

foto thumbnail: ilustrasi artificial intelligence via bing image studio tentang bahaya jika ada yang menyamar sebagai tentara

Author: MT

Menurutmu?