AI: Angkatan Influencer

Makin ke sini kepercayaan masyarakat terhadap informasi tak lagi mengandalkan media, keahlian, ataupun kredibilitas tetapi juga tergantung influencer di media sosial. Influencer yang dulunya hanya sekadar berbagi hobi dan gaya hidup, menjelma menjadi corong paling ampuh, baik bagi brand maupun politisi. Sebuah endorsement dari mereka bisa membuat produk laris manis atau bahkan membentuk persepsi publik terhadap kebijakan dan kandidat tertentu. Dari skincare hingga propaganda politik, dari tren diet hingga kebijakan efisiensi anggaran, semua bisa dikemas dalam narasi yang terlihat meyakinkan di tangan influencer.

Tapi apakah semakin banyaknya influencer dalam berbagai lini kehidupan berarti masyarakat mendapatkan informasi yang lebih baik? Atau justru kita semakin tersesat dalam pusaran konten yang lebih mementingkan popularitas ketimbang kredibilitas?

Banyak influencer yang memposisikan diri sebagai “ahli” di berbagai bidang, padahal keahlian mereka sering kali hanya sebatas konten yang didikte oleh pihak yang membayar. Dalam dunia kesehatan misalnya, ada influencer yang menyebarkan klaim tanpa dasar ilmiah, seperti diet ekstrem, obat herbal ajaib, hingga teori konspirasi vaksin. Masyarakat yang menganggap mereka sebagai panutan akhirnya termakan oleh informasi sesat yang bisa berdampak serius pada kesehatan mereka.

Begitu pula dalam isu politik, di mana influencer dijadikan alat propaganda dengan narasi yang dikemas untuk kepentingan politik kekuasaan. Mereka yang sebenarnya tidak memiliki pemahaman mendalam tentang suatu isu bicara seakan-akan ahli, hanya karena ada  cuan, jabatan, ataupun previledge lainnya.

Di negara yang politisinya takut banget sama trending topic, buku, film, lukisan, lagu, dan kritik rakyat, peran influencer dalam politik semakin signifikan, terutama dalam menyosialisasikan agenda politik. Pemerintah menggunakan influencer agar programnya bisa menjangkau masyarakat hingga ke pelosok daerah, memanfaatkan luasnya jangkauan media sosial (Liputan6). Namun tren ini juga memunculkan kekhawatiran. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, belanja pemerintah untuk jasa influencer meningkat sejak 2017 hingga 2020, mencapai total Rp 90,45 miliar (Kompas). Penggunaan influencer oleh pemerintah dianggap dapat merusak demokrasi karena komunikasi yang seharusnya bersifat dua arah antara pemerintah dan masyarakat berubah menjadi komunikasi searah melalui influencer (Kompas).

Dalam konteks pemilu, penggunaan influencer menjadi strategi penting bagi partai politik dan kandidat untuk meningkatkan elektabilitas. Pada Pemilu 2024, media sosial menjadi arena utama bagi “perang siber” antarpendukung, dengan influencer memainkan peran kunci dalam membentuk opini publik dan preferensi politik (Kompas). Dari endorsement terselubung hingga penyebaran narasi tertentu, influencer menjadi aktor penting dalam persaingan politik digital, di mana algoritma media sosial memainkan peran besar dalam menentukan siapa yang paling sering muncul di linimasa medsos.

Ironisnya banyak dari influencer ini tidak menyadari besarnya tanggung jawab yang mereka emban. Mereka menganggap pekerjaannya hanya sebatas membuat konten yang menarik, mengikuti tren, dan menghibur audiens. Padahal setiap kata dan tindakan mereka bisa membentuk persepsi jutaan orang.

Algoritma media sosial dirancang untuk memprioritaskan engagement, bukan kebenaran. Menarik membaca Paper Tentang Influencerrank, yang dikembangkan oleh para peneliti dengan menggunakan Graph Convolutional Neural Networks (GCNN) dan Recurrent Neural Networks (RNN). Mereka mengidentifikasi influencer yang paling “efektif” berdasarkan hubungan sosial dan pola postingan mereka. Studi yang dilakukan dengan data lebih dari 18 ribu influencer dan hampir 3 juta postingan menemukan bahwa influencer dengan interaksi tinggi dan koneksi sosial luas cenderung lebih “berpengaruh.” Tapi apakah yang paling berpengaruh berarti yang paling kredibel? Belum tentu juga, kan.

Jika yang diukur cuma seberapa banyak interaksi yang didapat atau seberapa luas jangkauan sebuah unggahan, maka influencer yang paling sensasional, kontroversial, atau bahkan yang paling sering menyebarkan hoaks bisa jadi justru naik ke peringkat teratas. Bukannya membantu masyarakat mendapatkan informasi berkualitas, Rank itu malah bisa membuat kita makin tenggelam dalam pusaran misinformasi yang dikemas menarik. Dalam konteks politik dan pemasaran produk kesehatan, ini bukan sekadar masalah kecil, melainkan krisis informasi yang bisa berdampak nyata pada kehidupan orang banyak.

Namun tidak semua influencer terjebak dalam arus ini. Ada juga influencer yang tetap menjaga kredibilitasnya di tengah tekanan algoritma dan tuntutan komersial. Mereka biasanya menerapkan beberapa prinsip penting: selalu melakukan riset sebelum membagikan informasi, transparan dalam mengungkapkan sponsor, berani menolak kerja sama yang bertentangan dengan nilai dan etika mereka, serta mendorong audiens untuk berpikir kritis, bukan sekadar mengikuti tren. Mereka sadar bahwa menjadi influencer bukan hanya soal popularitas, tetapi juga tanggung jawab moral terhadap publik.

ilustrasi Angkatan Influencer

Kita harus lebih kritis dalam mengonsumsi konten dari influencer. Tidak semua yang memiliki banyak pengikut berarti memiliki wawasan yang luas. Tidak semua yang terlihat meyakinkan berarti berbicara dengan dasar yang benar. Keberadaan influencer yang bertanggung jawab tentu tetap penting dalam ekosistem digital, tetapi seleksi terhadap siapa yang layak dipercaya harus lebih ketat. Jika tidak, kita akan terus hidup di era di mana kedunguan makin viral dan kebenaran malah dianggap sebagai gangguan terhadap narasi yang sudah dibayar mahal. Ingat rezim kini bukan cuma dijaga sama tentara tetapi juga sama influencer dengan pasukan buzzer dan follower fanatiknya yang sering lupa kalau punya otak dan nurani.


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.