Bagi seorang guru SD, lebih sulit mengajarkan anak-anak SD ketimbang anak SMA. Bagi guru SMA, sepertinya lebih enak mengajar anak-anak SD yang lugu dan lucu, ketimbang anak-anak didiknya sendiri. Guru SMP lain lagi. Mereka punya alasan, justru masa SMP itu saat anak sedang badung-badungnya. Mereka sedang dalam proses perubahan dari anak-anak menjadi remaja, jadi lebih sulit mengajarkan anak SMP ketimbang SD atau SMA.
Jika guru merasa sulit mengajarkan anak didiknya sendiri, dan mengangankan untuk mengajar anak didik guru lainnya, lebih baik berpikir ulang tentang profesinya.
Profesi guru terbilang mulia. Bahkan dalam sebuah nyanyian, guru disebut sebagai pahlawan (tanpa tanda jasa). Guru bak pelita, penerang dalam gulita. Apakah anda pantas menjadi guru?
Jika guru sering mengeluhkan anak didiknya, boleh jadi anak didiknya lebih banyak keluhan tentang gurunya sendiri. Jika guru merasa lebih pantas mengajar level lain dari pada level yang menjadi tanggungjawabnya sekarang, boleh jadi anak didik merasa gurunya tak memiliki level yang pantas untuk mendidik mereka.
“Menjadi guru saat ini lebih sulit!” Demikian keluh-kesah seorang guru yang membandingkan masa kini dengan masa lalu. Ia membayangkan menjadi guru pada zaman dahulu kala, lebih mudah karena anak didiknya belum terkontaminasi dampak buruk globalisasi.
Seorang mantan guru yang sudah tua renta, boleh jadi membayangkan guru zaman sekarang lebih enak ketimbang pada zamannya. Sekarang fasilitas dan teknologi lebih kondusif ketimbang zamannya dahulu. Apalagi dengan adanya program sertifikasi, yang pada beberapa orang guru disalahpahami sebagai “proyek penambahan penghasilan”.
Jika guru masih berkeluh-kesah tentang anak didiknya, tentang zamannya, belajarlah dari kerbau. Seberat apapun pekerjaannya, kerbau tetap melenguh, tak pernah mengeluh.
Selamat bekerja para guru! Jadilah guru yang pantas menerima cinta dari anak didikmu. Dan jika perlu, bersihkan citramu dari pragmatisme dan manipulasi yg kini menguasai tempat kalian mengabdi.
Leave a Reply