Sejak pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tingkat SD hingga pengumuman Penerimaan siswa SMP, banyak hal yang ingin kutulis. Mulai dari pembagian bocoran jawaban UN -yang membuat anakku heran tak keruan- hingga proses masuk SMPN yg harus dites kembali dg passing garde tak tersosialisasikan, sehingga orang tua murid tak bisa memprediksi anaknya pantas mengikuti tes di sekolah mana.
kadang rencana tak kesampaian karena banyak faktor, baik yg terduga maupun yg tak terduga. Rencana menulis tentang hal-hal di atas akhirnya kubatalkan.
Padahal aku gemes banget ingin menuliskan apa yang anakku dan anak temanku alami, saat mengikuti Ujian Nasional (UN).
Pulang UN hari pertama, anakku kelas 6 SD curhat. Ia merasakan kegelisahan saat harus mengikuti “saran” oknum guru yg mempersilakan peserta UN menyimpan kertas contekan jawaban.
Kertas jawaban tersebut tadinya kosong. Semua murid mengisinya bersama-sama dengan bantuan guru, yang membacakan soal dan jawaban pagi hari sebelum jam 8, jam seharusnya UN dimulai. Ya, saat UN anakku harus sampai di kelas pada 05.30 pagi.
Saat kutanyakan kepada teman-teman sesama orang tua murid, mereka menjelaskan bahwa itu sudah menjadi maklum, karena penguasa wilayah memaksakan diri agar sekolah mencapai kelulusan 100%. Segala cara akhirnya dilakukan pihak sekolah agar mencapai target tersebut.
Keberadaan Pengawas saat UN juga hanya formalitas belaka. Menurut temanku yg juga seorang pengajar, seperti ada kesepakatan antara pengawas dengan pihak sekolah dan mungkin juga pihak keamanan, untuk kompak dalam “mencapai target Lulus 100%”.
“Pelaksanaan UN yang menghalalkan segala cara, telah merusak nilai moral yang selama 3-6 tahun ini kami bangun!” ungkap seorang Kepala Sekolah yang kutemui, terkait kecurangan dalam pelaksanaan UN.
Sayang sekali penelusuran masalah UN tak bisa kulanjutkan, karena para pelapor umumnya takut dibuka identitasnya agar aman dari resiko dikriminalkan pihak sekolah dan atau dinas pendidikan.
Masih segar dalam ingatan mereka tentang seorang ibu yang dicerca lantaran mempertahankan kejujuran anaknya untuk tak mencontek.
Selama hak mengemukakan pendapat melalui social media, tak mendapatkan jaminan keamanan, lebih baik menahan diri untuk berkoar.
Tibalah saatnya pengumuman siapa saja yg diterima SMPN. Anakku tidak diterima. Ada orang tua murid yg menyarankan untuk “main belakang”. Rupanya ia sendir sudah mempersiapkan diri untuk begitu. Ia memperlihatkan uang sebanyak 5 juta di tasnya.
Aku tersentak. Bukan nilai uangnya. Tetapi paparannya tentang pola main belakang agar anaknya dapat diterima di SMPN.
Beberapa hari kemudian, sebuah koran harian di Bogor memberitakan perihal uang sogokan di beberapa sekolah negeri di Bogor. Ah, kenapa makin parah saja rahasia yang terungkap.
Reporter salah satu Radio di Bogor juga demikian. Setelah membaca twitku, mereka menelpon untuk menelusuri kebenaran dugaan suap dan apalah namanya. Tetapi rupanya.orang-orang yg awalnya memberi banyak cerita kepadaku, enggan diajak berbincang, apalagi menjadi saksi.
Bagaimana mungkin kita bisa mengubah keadaan jika tak berani beresiko? Bagaimana mungkin kita tak beresiko selama kita tak mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan atas kenyataan yang kita saksikan?
Begitulah. Akhirnya kubatalkan investigasi tentang UN hingga Penerimaan SMPN, karena tak ada pengucap bukti yang berani bersaksi.
UPDATE:
Seminggu setelah anak-anak mulai sekolah di tempat baru. Datanglah beberapa orangtua murid yg pernah menyarankan untuk “mainbelakang”. Mereka bilang kepadaku, “Jadi anaknya masuk pesantren? Makanya ambil hikmahnya aja deh, biar tahun depan, adiknya bisa masuk SMPN. Makanya ikuti cara yg sudah diatur mereka!”
Miris! Bagaimana bisa orang tua mengajarkan korupsi untuk pendidikan anaknya.
Astaghfirullah…
Posted from WordPress for Android
Leave a Reply