Kenapa Anjing

Orang itu melampiaskan kekesalannya kepada petugas penyekatan mudik 2021. Kata “Anjing” kerap keluar dari mulut mereka yang marah. Kenapa harus anjing? Kenapa bukan -sayur mayur, misalnya- Lobak! Brokoli! Jengkol! Sambel Pete! dan sebagainya? Lanjut, timun!

konten viral marah-marah kepada petugas. sumber bejibun di google.

Boleh jadi kata makian yang keluar dari mulut seseorang merupakan pemuas emosinya. Boleh jadi juga itu terikat dengan pikirannya, mindsetnya. Tanpa mengeluarkan kata “anjing” rasanya belum puas melampiaskan kekesalan dan merendahkan orang yang dihadapinya.

Memaki biasanya dilakukan untuk merendahkan orang yang dimaki. Zaman penjajahan dulu, para aktivis kemerdekaan menyebut orang yang menjadi kaki-tangan Belanda dengan sebutan “Anjing Belanda”. Begitu pun terhadap kaum pribumi, orang Belanda menyamakannya dengan anjing. Di tempat-tempat keramaian yang hanya untuk kalangan Belanda, Eropa, dan Jepang, biasa tertulis Verboden voor Inlanders en Honden (Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk). Huh, anjay gak sih?

gambar dari https://id.pinterest.com/pin/858780222687762542/

Kasihan si Anjing, padahal mereka adalah hewan yang menyenangkan untuk diajak bermain dan bekerja. Anjing termasuk hewan yang loyal terhadap pemiliknya. Oh, mungkin karena selalu menurut itulah makanya ada makian “Anjing Belanda” untuk para pengkhianat (zaman perjuangan kemerdekaan).

Ada juga yang mengaitkan anjing dengan kepercayaan agama. Karena anjing dianggap hewan yang bernajis, jadi sang pemaki ingin menyamakan derajat orang yang dimakinya senajis anjing. Tega, ya. Padahal kalau kita lihat kejadiannya, malah yang marah-marah itulah yang menyerupai anjing yang tak berhenti mengonggong. ish, sabar!

Aku berharap kejadian di momen mudik kemarin bisa jadi hikmah buat kita, netizen Indonesia yang dianggap kurang beretika. Mulailah untuk mengubah kebiasaan memaki dengan “mengabsen” kebun binatang. Coba ubah dengan, misalnya nama makanan, nama sayuran, buah-buahan, dan mungkin nama-nama serangga atau nama benda, misalnya, “Eh, diem lu sedotan mampet!”, “baiklah, botol orson.”

Nggak seru ya? Memang tapi itu salah satu pendekatan yang bisa kita coba untuk mengurangi kebiasaan memaki. Sebab inti dari persoalan ini ada di mental kita, yaitu bagaimana mengelola emosi agar tidak gampang marah dan memaki.

“Abis marah-marah nanti juga ujung-ujungnya klarifikasi, materai, minta maaf! Dasar duta anjing nasional!”

Begitu umpat netizen kita menanggapi permohonan maaf orang yang viral saat memaki petugas.

Ya, begitulah kebiasaan kita. Tak suka melihat orang memaki tapi senang juga memaki saat orang itu menyesali perbuatannya. Jadi apa benar Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara?

Setuju atau tidak, survey tersebut sudah berjalan 5 tahun dan skor kita turun di tahun ini. 3 hal yang membuat nilai kesopanan turun, yaitu sebaran hoaks dan penipuan, sebaran ujaran kebencian, dan sebaran diskriminasi. Kita akui memang ketiga hal itu mudah sekali kita temukan. Ya, nggak? Coba cek medsos maupun WhatsApp/Tele.

Kembali ke soal peranjingan, yuklah kita mulai memperbaiki komunikasi di ranah maya. Jadikan lingkungan online kita lebih bermanfaat dan bermartabat. Tak perlu meminta orang lain yang melakukannya, kita mulai aja sendiri. Setidaknya jangan gampang terpancing emosi sebab algoritma kebencian di media sosial gampang banget menjerat orang yang baper jadi ketularan.

2 responses to “Kenapa Anjing”

  1. Daeng Ipul Avatar
    Daeng Ipul

    cuma ada tiga hewan yang paling sering dipakai mengumpat ya?
    Anjing, babi, sama monyet. Koq gak pakai hewan lain ya? Undur-undur misalnya.

    “Heh! Undur-undur lo ya!”

    1. mete Avatar
      mete

      Undur-undur jadinya kocak sih hahaha…. selain anjing, babi, monyet, ada juga kampret, bangsat, dan buaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *