Dibilang lanjutan kisah “Seperti 3 Manula di Singapura” boleh saja. Dibilang catatan sendiri, mungkin lebih pantas. Judulnya pun kutulis semaunya dan tak mewakili semuanya. Sebenarnya malas melanjutkan cerita ini andai tidak ditanyakan beberapa teman, terutama salah seorang dari teman yang sama-sama ke Singapura kemarin.
Oh, iya pertanyaan pertama yg muncul adalah tentang kedua temanku itu. Siapakah mereka? Sengaja tak kutuliskan nama mereka karena jika dilihat dari “featured image” kisah kemarin, sudah banyak yang tahulah. Mereka itu kan sosok yang cukup terkenal di jagad media sosial. Terutama yang satu, nyaris saja diperkarakan oleh penulis terkenal dan hebat dengan tetraloginya: Andrea Hirata.
“Gue udah liat potonye, Te. Tapi tetep kagak kenal tuh sama dua temen lu entu?” Protes teman dekatku. Wajar ia tak mengenal kedua temanku itu sebab ia tak mengikuti perkembangan media sosial. Bisa baca blogku saja baginya sudah merasa hebat -bisa internetan-, meskipun lewat Hape adiknya. “Hape yang bisa pesbukan.” Katanya.
Tunggu! Lupakan temanku yang tak mengenal kedua temanku lainnya. Kini akan kulanjutkan kisah kala aku terpisah dari kedua temanku yang bernama panggilan DAM dan ART. DAM adalah kependekan dari Damdubidudam, sedangkan ART singkatan dari Aku ReTwit ya mas!
Setiba di Gap Year Hostel yang kamar mandinya di luar dan cuma dua, kami bergegas menuju Makan Sutra Esplanade. Jam 3-4 sore kami janjian bertemu teman-teman Singapura. Kami naik MRT dari Boon Keng. Stasiun manakah yang lebih dekat untuk berjalan kaki ke Makan Sutra Esplanade? Kami sepakat turun di Stasiun Esplanade. Sebuah kesepakatan yang menantang meskipun setibanya di sana, kami kebingungan di dalam Mall. Mencari jalan ke arah Raffles Place atau Citi Hall tak juga ketemu.
DAM dua kali hampir terpisah. Ia melihat aku dan ART ada di arah yang sejurus dengan penglihatannya. Rupanya ia tak melihat kala aku atau ART bergeser ke arah lain. Akhirnya, yang awalnya ia menyusulku dan ART jadi terbalik, aku dan ART yang menyusulnya. Main cari-carian menjadi bagian yang cukup seru sambil mencari tujuan yang sebenarnya: Makan Sutra Gluttons Bay.
Kedua temanku itu orang yang senang menikmati perjalanan. Terutama berjalan kaki sambil berbincang akrab. Mereka tak pernah mengeluh, tak pernah terlihat bingung. Mereka enjoy bangetlah pokoknya. Sementara aku lebih suka lari pagi. Setelah menahan diri untuk tak berlari, akhirnya berlarilah aku menuju lokasi di mana tujuan kami berada.
“Nggak takut mereka nyasar?” Sekelebat terlintas di pikiranku. Tapi aku amat yakin mereka tak akan tersesat. Keduanya sudah sering ke Singapura. Sudah hafal banget selayaknya menguasai peta daerah Pancoran, Tebet, Senayan, Tenabang, Mangga Besar, Taman Lawang, bahkan Bojong Kenyot. Tenanglah aku meninggalkan mereka. Tokh mereka juga sudah dewasa. Jika ada penculik yang mengincar, pasti bisa mereka atasi berdua.
Haus juga berlari beberapa meter meninggalkan kedua temanku. Di lampu merah aku menyeberang jalan menuju Taman Esplanade. Ada seorang bapak duduk di atas kendaraan menyerupai becak. Karena lelah dan haus kucoba tanya berapa ongkos naik becaknya ke Makan Sutra. “Ten Dollar!” katanya sambil menatap ke arah selain aku. Aku kaget dong. Menurutku jarak tempuh tujuanku tak jauh lagi. Kutawar 5 SGD dan ia menggelengkan kepalanya. Kenapa aku tak mau naik becak seharga 10 SGD? Karena kucoba menghitung jika dikalikan kurs Rupiah (Rp9.400,-) berarti ongkos becak itu sekitar Rp94ribu. Jelas mahal dong. Meskipun aku ingat pesan temanku, Banyumurti, “Kalau mau belanja atau transaksi di luar negeri, jangan sekali-kali mengukur pakai kurs Rupiah, pasti jadi mahal!” Benar juga sih. Tapi, tetap mahal sih dalam kondisi terbatas. Lha, beli nasi goreng aja di Lavender 3.5 SGD. Ah, pikiranku makin kacau kala itu.
Aku terus berjalan lebih dalam ke Taman Esplanade. Sengaja ke situ bukan untuk mencari minuman tetapi karena tertarik melihat monumen. Namanya Indian Army Monumen, situs sejarah yang mengabadikan perjuangan para pahlawan tak dikenal dari kalangan masyarakat India. Mereka punya andil besar dalam perjuangan Singapura saat masih terjajah. Tertulis sebuah kalimat di sisi kanan monumen: “they died that we might live.” Keren banget, kan!
Kumelangkah mendekati monumen itu. Di setiap anak tangga terpahat angka tahun secara bertingkat. Mulai dari tahun 1939 sampai dengan 1945. Sedang asyik memotret dan memandangi setiap sudut monumen yang sepi itu, tiba-tiba mataku lamur, napasku tersengal. Aku segera meraba mencari posisi duduk di tepian anak tangga. Istirahat sejenak.
Entah apa yang terjadi.
Aku terjaga. Telapak tangan seorang bapak tua menepuk-nepuk pundakku. Agak terkejut memerhatikan wajah Indianya yang semakin jelas dari keburaman. Bapak tua ini berbicara dengan bahasa yang tak kupahami. Baru kusadari rupanya ia memberikan handphone-ku dari genggamannya. Aku berterimakasih kepadanya. Kubilang juga kalau aku akan melanjutkan perjalanan menuju Makan Sutra Esplanade. Lengan kanannya menunjuk ke arah jembatan. Aku beranjak dan melangkah meninggalkan ia yang tersenyum sambil menangkupkan kedua telapak tangannya.
Sampai di lorong jembatan jalan, aku terkejut saat memerhatikan jam di hapeku. Rupanya aku tertidur hampir satu jam. Ah, aku tidur atau pingsan ya? Aku coba mengingat kembali yang kurasakan sebelum tertidur. Napasku tersengal, dada kiriku terasa nyeri. Pandangan mataku melamur. Ah, masa bodohlah aku pingsan atau tidur. Yang penting kini aku sudah kembali melanjutkan perjalanan menuju Makan Sutra. Teman-temanku pasti teramat lama menunggu. Kasihan.
Benar sekali. Kulihat kecemasan mereka ketika aku tiba. Beberapa di antara mereka menanyakan bagaimana bisa aku terpisah, kenapa bisa pingsan, menasehati, memberikan duduk, minum, dan segala kepeduliannya. Tetapi pikiranku sebenarnya masih membayangkan wajah bapak tua yang menolongku.
Teman-teman melanjutkan perbincangan dan rencana. Sementara aku masih memikirkan… “Orang India tadi?”
Tidak! Aku tidak sedang memikirkan penolongku itu, tetapi memikirkan nasib Indonesia pasca PEMILU 2014. Siapakah yang akan terpilih sebagai presiden? Apakah para cecunguk yang belum menyelesaikan dosa-dosa sejarahnya? Ataukah para pemenjara frekuensi publik yang menguasai media dan berlagak nasionalis belakangan hari ini? Atau kaum muda yang cuma mengandalkan uang buat bayar buzzer dan memikat pemilih perempuan saja? Ah, pikiranku memang lagi kacau kali ini. Tapi tetap ingat: Dibandingkan calon presiden yang aslinya cecunguk, banyak kutu kupret lain yang sekarang berlomba menjadi pengkhianat yang sering menyebut diri mereka wakil rakyat. Tak semuanya sih, tapi banyak! Banyak!
-:(Sebenarnya Belum Selesai Juga):-
Leave a Reply