Hari ini 9 April 2014 Pemilihan Umum Legislatif serentak dilaksanakan. Mulai pukul 7 pagi rakyat yang ingin memilih akan berkumpul di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Satu hal yang berkali-kali kunyatakan, apakah PEMILU 2014 akan terancam oleh apa yang ditakutkan banyak orang Parpol: GOLPUT?
Seperti PEMILU sebelumnya, aku berani bertaruh. PEMILU akan tetap berjalan dengan baik. GOLPUT yang tak terorganisir tak akan memengaruhi proses pemilihan Anggota Legislatif maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Seperti yang kutuliskan dalam Catatan Pemilu “Jangan Takut GOLPUT”, kekhawatiran penyelenggara PEMILU maupun Parpol terhadap GOLPUT terlalu dibesar-besarkan. Aku yakin rakyat Indonesia amat mudah diajak memilih seperti mudahnya diajak untuk diam. Lagi pula, apakah GOLPUT pernah menggagalkan PEMILU di Indonesia? Tidak! Justru yang sering merecoki pemilu adalah para kontestan sendiri yang berlaku curang dalam mencapai kemenangan. Jadi, saranku, jangan takut terhadap GOLPUT. Lebih baik awasi dan bertindak tegas kepada para peserta PEMILU yang melanggar aturan kampanye.
Siapa yang patut bertindak tegas? Bukan Cuma BAWASLU dan KPU. Kita sendiri sebagai rakyat juga harus berani tegas. Jika melihat ada kekurang-beresan yang dilakukan orang-orang Parpol, lakukan tindakan yang sepantasnya. Misalnya seperti yang beberapa hari lalu kulakukan di Facebook. Aku melaporkan dan menyarankan kepada pengelola Sekolah yang di tembok Plang Sekolahnya tertempel atribut Parpol. Beberapa menit setelah itu pihak sekolah menggerakkan siswanya untuk merobek berbagai atribut Parpol tersebut dan membuangnya ke tempat sampah. Bahkan sebuah bendera Partai Politik peserta pemilu yang tanpa izin dipasang di gerbang Sekolah, langsung dibuang.
Kenapa kita harus bersikap tegas terhadap “kekhilafan” peserta PEMILU? Kita perlu wakil rakyat yang bersih dan mengerti apa yang harus mereka lakukan. Kita ini rakyat sedangkan yang kita pilih itu wakil kita. Kita yang mengamanatkan pekerjaan politik kepada mereka. Dengan kata lain, kita, rakyat adalah bos mereka. Jika mereka salah, kita punya hak untuk mengoreksi. Jika yang dikoreksi tak suka bahkan malah menuduh kita Anti Politik atau GOLPUT, jelaskan dengan baik. Jika mereka -Anggota Dewan yang biasanya besar kepala dan petantang-petenteng- malah mengancam, kita harus berani melawan. Tampar mereka atas nama rakyat. Wakil rakyat yang seperti itu adalah cecunguk yang tanpa kita sadari telah menumbuhkan sikap apatis rakyat terhadap perpolitikan negeri ini.
Sebagai rakyat, sebagai bos, kita hanya menginginkan wakil yang bersih dan mau bekerja. Berapa kali PEMILU diselenggarakan, berapa banyak anggota DPR dan DPRD di negeri ini? Apakah mereka bekerja? Berapa banyak rakyat jelata yang tetap saja nelangsa karena luka yang tak pernah bisa disembuhkan? Soal itu kusindir dalam tulisan, “Pemilu dan Wagiman”.
Kita cuma berusaha agar kampanye PEMILU berlangsung dengan baik dan tak melanggar aturan. Kita adalah rakyat, yang diatasnamakan dalam Proklamasi Kemerdekaan. Sudah sepantasnya kita mengembalikan harga diri sebagai rakyat yang berkuasa atas negeri ini. Presiden dan Anggota Legislatif itu bekerja untuk kita. Jika mereka terduga korupsi (tidak bersih) dan hanya berleha-leha (tidak bekerja), maka kita punya hak untuk mengingatkan. Dengan cara itulah kita dapat mengembalikan martabat rakyat. Jika kita masih takut melawan penyalahgunaan tugas dan wewenang para pesuruh kita itu, selamanya kita akan diinjak-injak. Selamanya kita akan diteror. Selamanya kita hanya diatasnamakan sambil kepala kita diinjak-injak dengan sepatu yang mereka koleksi dari luar negeri.
Hehehe… menulis paragraf barusan jadi teringat kampanye iklan teve sebuah produk rokok versi PEMILU #CariyangBersih dan #CariyangKerja. Pemirsa hanya dihadapkan dengan parade sepatu yang berjalan di karpet merah. Ada sepatu mengkilap, sepatu dangdut, dan sepatu yang penuh lumpur. Silakan mempersepsikan iklan tersebut. Namanya iklan tematik, ya bebas dimaknai. Paling tidak kampanye tersebut satu semangat dan satu kesadaran denganku bahwa selama ini orang-orang yang kita pilih tidak benar-benar bersih dan tidak benar-benar bekerja. Mereka mengincar kursi hanya untuk memperbaiki kondisi hidupnya sendiri. Selebihnya ada juga yang sekadar memuaskan nafsu berpolitik, sehingga mudah sekali gonta-ganti parpol asalkan tetap jadi anggota DPR/MPR. Adakah yang bersih dan bekerja? Aku menduga: Ada, tapi sangat sedikit. Boleh jadi bisa dibilang langka. Mereka yang bersih dan bekerja itu pun, yang paling sedikit jumlahnya, ada juga yang lama-lama terjangkit virus korup dan pongah anggota Dewan.
Presiden pun begitu. Pemilu legislatif hanya tinggal menunggu hasil resmi dari KPU. Selanjutnya kita akan sama-sama menantikan siapa sebenarnya Capres yang akan bertanding. Apakah Jokowi, Prabowo, Ical, di mana parpol masing-masing berkoalisi dengan parpol lain, atau jangan-jangan ada kejutan baru, misalnya duet Jokowi-Prabowo, Jokowi-Ical, Jokowi-Paloh, Jokowi-Wiranto, Jokowi-JK, dan segala kemungkinan lainnya. Boleh jadi apa yang pernah disebut sebagai Poros Tengah akan muncul kembali untuk memaksakan agenda perubahan yang tak benar-benar mengubah keadaan. Maklum, di negeri yang mana politik menjadi pemuas nafsu berkuasa sekaligus nafsu memecah-belah, kita tak akan pernah bisa bermimpi tentang seorang pemimpin yang diputuskan bulat oleh rakyat. Kita tak punya lagi sosok utama yang menjadi icon bangsa. Kita masih harus bermimpi tentang calon yang bersih dan yang benar-benar mau bekerja. Selama perpolitikan kita dikuasai mafia politik, sulit mendapatkan sosok pemimpin idaman.
Aku sendiri tak akan sudi memilih orang yang rekam jejaknya tak baik. Aku tidak akan memilih orang yang hanya mengandalkan pertalian darah keluarga dan kekerabatan dengan mantan-mantan Presiden terdahulu. Lalu bagaimana jika setelah PEMILU mereka mengkhianati kita? Jawabnya simpel. Konsisten saja. Jika mereka konsisten korupsi, konsisten memperkaya diri sendiri, kita harus konsisten melawan. Jangan pernah berhenti melawan kesewenangan. Lebih baik mati saat melawan kedzaliman daripada membiarkan mereka mengkhianati sumpah jabatan.
Sekali lagi. Tak perlu mengkhawatirkan berapa persen jumlah Golput, tetapi berapa banyak peserta Pemilu yang curang dan tak menepati janji setelah terpilih. Kita adalah rakyat dan kita pantas menampar mereka yang mabuk kekuasaan. Sebab hanya dengan tamparan, yang mabuk bisa dipulihkan.
Leave a Reply