Si Badri jadi Banci

Hari pertama dia bekerja di pabrik sparepart ini, supervisor mengenalkannya padaku. Namanya Badri, lelaki yang mungkin usianya 5 tahun di bawahku. Aku diminta membantunya mengenal ruang, bahan, alat, dan worksheet yang harus ia kerjakan di pabrik ini.

Ya, aku pernah menjadi buruh pabrik di Cikarang. Di sebuah perusahaan yang bigboss-nya orang Korea. Tak lama bekerja di sana, namun ada banyak kenangan yang melekat. Salah satunya kedekatanku sama Badri, anak baru yang sering dibully.

Suatu hari setelah makan siang, kulihat Badri bekerja sambil terisak. Kutanya, dan ia curhat sesenggukan. Rupanya teman-teman di pabrik banyak yang menggodanya. Mungkin lebih pas disebut mengejeknya. Badri dijuluki Banci.

“Menurutmu, apakah mereka begitu karena melihat gayamu yang tak seperti lelaki biasanya. Cara jalanmu, saat kamu menyapa, ngobrol, dan bercandamu bikin mereka begitu sama kamu?” Tanyaku sambil menyortir spare part.

“Aku emang begini. Mau digimanain lagi, mas? Sedih, aku dibilang banci.” yang kurasakan Badri bukan cuma sedih, tapi marah tapi ia tak berani mengekspresikan kemarahannya. Apa lagi ia anak baru di pabrik ini.

“Dri, boleh gak aku tau. Sejak kapan kamu bergaya seperti ini. Apakah sejak lahir? trus keluargamu baik-baik aja melihat kamu kayak gini?”

Badri menceritakan kisahnya. Di keluarganya ia lelaki satu-satunya. Anak bungsu dari 4 bersaudara. Sejak kecil ia bermain bersama kakaknya dan teman-teman yang kebanyakan perempuan. Ia nyaman dengan masa kecilnya tapi ia tetap bocah laki kecil sebayanya. Ia tak pernah berdandan seperti perempuan, walaupun sempat ingin mencoba dandan ketika memperhatikan ibu dan kakak sulungnya berdandan.

SD dan SMP ia lewati sebagai lelaki remaja. Ia bahkan naksir sama teman sekelasnya, cewek cantik yang paling pintar soal pelajaran. Namun cewek yang ditaksirnya lebih suka berteman biasa saja sama Badri, yang orangnya santun dan ngomongnya gak pernah kasar.

Ia mulai berubah saat SMA. Ia harus bekerja agar bisa membantu orang tua, membayar uang bulanan yang semakin mahal. Kondisi ekonomi orang tuanya sedang anjlok. Badri kerja di salon yang ada di kampungnya.

Lazim di kampungnya, pemilik salon dan pekerjanya dipanggil bencong atau banci. Warga kampungnya biasa saja. Menyebut banci bukan menghina tapi karena sudah lazim saja. Yang disebut banci pun tidak marah karena interaksinya dengan warga pun baik-baik saja. Mereka tak pernah merasa dihina. Badri kerja di salon itu.

Lama bekerja di salon, Badri merasa menemukan sirkel yang membuatnya nyaman. Semakin hari ia merasa lebih asyik menjadi lelaki yang “melambai”. Teman sekerja yang rata-rata bencong membentuk sikap Badri menjadi seperti apa yang orang sebut banci atau bencong. Tapi Badri menolak sebutan tersebut. Ia tak terima dipanggil banci.

Di keluarga pun Badri sempat diperingatkan Ayahnya agar tak bersikap seperti perempuan. “Kamu lelaki, Badri!” Badri merasa tertekan. Ia pun meninggalkan kampungnya, merantau hingga bekerja sepabrik denganku.

“Kamu nggak mau disebut banci?”

“Aku lelaki, mas”

“Kamu bisa nggak mengubah gayamu kalau ngomong, jalan, atau bercanda?”

“Aku udah coba, tapi susah, mas. Aku selalu coba tapi gak bisa juga. Aku sampe belajar ngomong, suaraku aku bas-basin tapi capek, mas.”

Aku bingung juga menghadapi Badri. Mau menolongnya agar tak diejek teman, ya sikap dan penampilan dia memang sedemikian adanya. Aku pernah meminta agar teman-teman memahami Badri, tidak membully Badri, biarkan Badri seperti itu. Tapi tak semua teman mengikuti permintaanku. Sampai suatu sore sebelum jam kerja shift pagi selesai…

“Gimana, Dri. Udah berkurang ejekan teman-teman?” Tanyaku sambil packing siap-siap pulang.

“Alhamdulillah, berkurang mas. Setiap habis shalat 5 waktu, aku selalu berdoa agar teman-teman tidak menghinaku. Alhamdulillah beberapa orang udah biasa aja sama aku, kecuali kalo lagi makan siang, masih suka becandain aku, mas.”

“Syukurlah, Dri. Yaudah setelah ini enjoy aja sama dirimu sendiri. Gausah merasa dibeda-bedain. Gausah merasa didiskriminasi. Kamu akan nyaman kalau bisa mengabaikan siapapun yang menganggap kamu orang gak jelas. Lelaki tapi kayak cewek, Banci, Melambai, atau apalah.”

“Bener, mas. Sejak kita sering ngobrol, aku jadi sadar. Sebenarnya yang bikin aku sedih, marah, bukan karena mereka yang bilang aku banci tapi karena aku sendiri yang gak suka disebut banci. Jadi, sekarang aku udah terserah aja orang mau bilang aku banci, bencong, atau apa aja, aku biarin aja. Nah, dengan cara itu aku jadi lebih nyaman mas. Nggak lagi merasa jadi bahan ejekan. Lama-lama teman-teman juga biasa aja sih, mas.”

Bagitulah, Badri. Ia pun akhirnya bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Ia tak lagi resah, sedih, marah kalau disebut banci dan ia juga tak benci kalau orang lain menganggapnya banci. Ia sadar memang dia pantas disebut banci.

***

“Mas, kamu dipecat? Kamu kenapa ngelawan sama big boss? Duh, mas! Kamu kerja di mana nanti?” Badri meremas pundakku.

Sejak itu aku tak pernah bertemu lagi sama Badri. Semoga ia makin akur sama teman-teman sepabrik atau di manapun dia hidup.

Author: MT

Menurutmu?