Catatan Akhir Tahun: Negeri Gimik

Dua hari sebelum tutup tahun 2022, pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Jumat (30/12) karena adanya kondisi yang mendesak, seperti antisipasi terhadap kondisi ekonomi global.

infografis: narasinewsroom

Rakyat pun merespon. Rata-rata menganggap alasannya ngadi-ngadi. Overthinking terhadap resesi ekonomi, inflasi, stagflasi, yang masih berupa prediksi. Lah, sama prediksi/ramalan aja overthinking? Begitulah pemerintah kita.

Lha kemarin sama prediksi BMKG mapun BRIN aja banyak yang kecele. Tak ada badai dahsyat yang diduga mampir. Tapi aku suka sih karena jalanan jadi sepi tak macet seperti biasa. Ini bisa dijadikan cara bagi pemerintah DKI Jakarta untuk mengatasi macet. eaaaa

Suka tidak suka, kocak tidak kocak, kita harus menerima pemerintahan yang kayak gini. Pemerintahan yang disusun berdasarkan kepentingan politik yang doyan gimik. Mulai dari tokoh politiknya, aparatnya, oposisinya, ormasnya, bahkan sampai presidennya. Semua suka gimik.

Berbagai kejadian dan kebijakan pun muncul sudah seperti gimik. Masih ingat waktu awal pandemi COVID-19? Banyak tokoh negeri ini, terutama dari pemerintah yang anggap sepele. Pernyataan tokoh yang ngasal akhirnya panik sendiri. Dampaknya ya gitu, kebijakan yang dirilis saat pandemi pun berubah-ubah udah kayak jomblo introvert yang ragu nembak targetnya.

Tekanan oposisi, kritik publik, membuat pemerintah kita gampang dibikin panik apalagi kalau jadi trending topic. Respon yang dilakukan pun kocak: ciptakan trending topic tandingan untuk kontra narasi. Yaelah! Nggak naik? Pakai buzzer. Lalu sama buzzer yang instan, dikerjain. Trendingnya gak organik karena pakai bot otentik. Trending tapi tetap faktanya gak didukung rakyat organik. Rakyat organik? dikasih makan pupuk kandang?

Pemerintah maupun oposisi sama-sama suka bikin gimik karena rakyat kita sangat menikmatinya. Rakyat gampang banget terbawa simpati hingga emosi jika ada tokoh yang besebrangan dengan rezim seolah-olah dizalimi. Rakyat langsung berseru tokoh tersebut layak jadi presiden. Dari gimik-gimik politik pun rakyat tak cuma berseru, bahkan siap berseteru.

Kemunculan SBY sejak jadi mantan menkopolhukam bisa masuk dalam kisah-kisah yang disukai rakyat kita. Posisinya yang seolah dizalimi Megawati pun membentuk opini publik bahwa SBY pantas jadi Presiden. Fenomena Anies Baswedan pun nyaris serupa. Saat ini begitu banyak yang berseru dan siap berseteru demi mempresidenkan Anies yang dipercaya sebagai tokoh yang tak disukai rezim Jokowi.

Munculnya tokoh Jokowi pun sudah seperti reality show di televisi. Penampilannya yang sederhana namun gercep, sat-set, gebrak kantor kelurahan, masuk gorong-gorong, dan sebagainya. Rakyat yang terdidik oleh tayangan entertainment pun tergiring untuk berseru Jokowi pantas jadi Presiden.

Siapa yang jadi tren, maka satu persatu menempel untuk mencari keuntungan. Mulai dari SBY, Jokowi, Ahok, Anies, Jeje Slebew, Bonge, Dilan Cepmek, sampai Fajar Sadbois. Meskipun berbeda konteks tapi pada dasarnya sama-sama dipola menjadi gimik. Sebab tayangan hiburan sangat efektif dalam memformat persepsi publik.

Di zaman orkestrasi isu di era digital saat ini, kita begitu mudah dijejali berbagai informasi. Ada baiknya tidak gampang mempercayai apa yang tertayang di feed media sosial kita. Kita perlu lebih kalem sehingga tak menyerap informasi berdasarkan emosi. Kritis menalar perlu dilakukan agar bisa tetap sadar. Tidak terbuai reality show tokoh politik yang tak lain ternyata cuma gimik.

Gimik-gimik ini bukan perkara sepele. Mereka yang berseteru untuk kekuasaan maupun berseteru di dalam lingkar kekuasaan, bisa saja mengorbankan rakyat demi memenangkan perseteruan. Mengorbankan dalam arti sesungguhnya: nyawa. Buat orang-orang bengis, nyawa rakyat seperti di Kanjuruhan -misalnya- tak ada harganya dibanding tujuan mereka mengancam pemerintah dan mencoreng muka POLRI dengan belati.

Buat kita, nyawa rakyat yang dikorbankan di mana pun di negeri ini adalah tragedi namun buat mereka yang sadis, rakyat kita dianggap sama seperti batu, kayu, styrofoam, yang bebas dipakai atau dibuang demi mencapai tujuan.

Kembali ke Perpu yang bisa disebut “Super Omnibus Law”, boleh jadi menunjukkan kegentingan di sirkel kekuasaan saja. Rakyat kita biasa saja meskipun ekonominya hancur akibat pandemi. Slogan recover together, strong together, yang besar-besarkan saat G20 jelas hanya bualan. Tak ada dampaknya untuk rakyat. Yang strong dan recover ya cuma sirkel kekuasaan.

Jika memang sepanjang pandemi pemerintah becus melakukan recovery dan jadi strong, mestinya gak akan mengalami kegentingan. Begitu sih nalar awamku. Jelas beda nalarku dengan nalar Jokowi, Sri Mulyani, Erlangga, dan sirkel mereka. Namun mereka gak sadar kalau apa yang mereka keluarkan tidak ada manfaatnya buat rakyat jelata, hanya buat investor dan pengusaha yang relasinya baik ke penguasa. Sudah lazim begitu.

Simbok tukang urap sudah di depan rumah. Makan dulu, ah.

Author: MT

Menurutmu?