Sah-sah saja Lukman Sardi menyatakan film buatannya adalah drama keluarga dengan latar belakang peristiwa Mei 1998. Di Balik 98 memang film fiksi, tapi ini soal ’98! Aku jadi ingin tahu apa yang akan dijejalkan Lukman Sardi yang menyutradarai film produksi MNC, kepada anak muda kiwari yang tentu tak mengalami ketegangan, ketakutan, keberanian, dan harapan rakyat dan mahasiswa yang mendodorkan kekuasaan Soeharto, Presiden RI terlama sepanjang sejarah.
Menurutku film ini dibuat bukan sekadar untuk hiburan pelepas penat dari rutinitas. Terlalu mahal jika film yang mengangkat kembali kenangan ’98 dijejerkan setara dengan film drama percintaan, komedi, absurd, apalagi horor. Di Balik 98 adalah film serius yg mengemas pesan untuk penonton. Apa lagi sosok Lukman Sardi yang kuduga nggak akan sembarangan bikin film tanpa idealisme. Ada buku-buku referensi terkait peristiwa Mei 1998 yang ia baca sebelum membuat film ini.
Kisah asmara antara Diana (Chelsea Islan) dan Daniel (Boy William) tak menjadi fokus dalam film ini. Mungkin karena ini bukan film percintaan, sehingga tautan perasaan antara dua sejoli yang terpisah karena kerusuhan 98, tak diangkat sebagaimana film-film percintaan umumnya. Tiba-tiba saja Daniel harus meninggalkan Jakarta lalu kembali di ujung film. Tak ada rindu dan ratapan Diana sebagai kekasih yang ditinggalkan. Boleh jadi itu memang tak penting menjadi bagian film ini.
Pantas dihargai upaya Lukman Sardi untuk mengungkap bagaimana ketegangan, ketakutan, dan keresahan Di Balik 98 dirasakan banyak orang dari beragam latar belakang. Diana dari sisi mahasiswa pelaku demo reformasi, Daniel meskipun sebagai aktivis, juga mewakili warga keturunan Tionghoa, Bagus (Donny Alamsyah) mewakili tentara yang tak bisa mencari tahu keberadaan istrinya karena harus bertugas menjaga keamanan. Juga diangkat bagaimana ketegangan para pekerja di Istana, sedikit kekhawatiran politikus, Habibie dan Soeharto sendiri. Sosok orang miskin yang lebih banyak diam juga dipotret dengan pemunculan Teuku Rifnu Wikana dan Bima Azriel yang berperan sebagai Ayah dan Anak.
Sejak awal hingga akhir, hanya satu scene yang memancing emosiku sebagai penonton, yaitu saat Diana bertemu Bagus (kakak iparnya yang tentara) di tengah kerumunan. Kemarahan Diana memuncak, kemarahan Bagus tertahan, meledak di batinnya saja. Selebihnya, film ini berlangsung datar saja.
Seiring ditayangkannya film ini, kekecewaan muncul. Terutama dari mereka yang merasa terlibat dalam peristiwa 98. Film ini dianggap tak benar-benar mengangkat perjuangan mahasiswa. Justru lebih banyak porsi Soeharto -musuh mahasiswa pada saat itu- yang boleh jadi malah meluluhkan empati penonton kepada sosok Penguasa Orde Baru itu. Beberapa hal penting menjadi tak penting ditampilkan pada film ini. Misalnya saja saat Amien Rais mengecek ke Monas, saat Soeharto mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat sebelum menyatakan berhenti sebagai Presiden. Melihat banyak hal yang ditayangkan di seputar penguasa dan parlemen, film ini menjadi film yang bimbang antara sematan sebagai film drama keluarga dan percintaan aktivis mahasiswa atau sebagai film drama politik di balik 98.
Tentu saja ini hanyalah sebuah film yang merepresentasikan interpretasi pembuatnya atas apa yang ia baca. Semoga saja setelah film ini, akan muncul film-film lain yang mengangkat situasi yang sama atau peristiwa sejarah lainnya yang selama ini hanya menjadi perbincangan tersembunyi. Maklum, di negeri ini, terlalu banyak sejarah yang kontroversial, banyak fakta yang hanya menjadi tuturan para tokoh saat bercengkrama dengan kerabatnya, banyak rahasia yang disembunyikan karena setiap generasi mewariskan ketakutan. Termasuk takut menontot film yang berusaha mengabarkan kebenaran, seperti film SENYAP, misalnya.
Akhirnya kembali ke interpretasi masing-masing, apakah Di Balik 98 mengungkap apa yang ada di balik 98, atau justru malah membalik 98 menjadi peristiwa haru tumbangnya rezim Soeharto?
Leave a Reply