Menurut data KPAI, sejak tahun 2011 jumlah anak korban pornografi dan kejahatan online semakin meningkat dan mencapai 1.022 anak hingga tahun 2014. Anak yang menjadi korban pornografi secara offline sebanyak 28%, pornografi anak online 21%, prostitusi anak online 20%, obyek CD porno 15%, dan anak korban kekerasan seksual online 11%. Sementara itu 24% anak memiliki materi pornografi.
Data tersebut dipaparkan Maria Advianti, Komisioner KPAI dalam siaran pers bersama berbagai lembaga yang tergabung dalam gerakan Perlindungan Anak di Ranah Maya, Indonesia Children Online Protection (ID-COP). Gerakan yang dibentuk oleh ICT Watch, Nawala, KPAI, ECPAT Indonesia, Google Indonesia, APJII, Fatayat NU, GM-FKPPI, dan Relawan TIK ini mengkhawatirkan kejahatan online (cybercrime) pada anak yang kini menjadi trend baru di banyak Negara termasuk Indonesia. Penggunaan internet yang nyaris tanpa kendali menyebabkan anak menjadi korban kejahatan seksual, pornografi, prostitusi, trafficking, bullying, dan lain-lain secara online.
Memerhatikan, memantau dan mengawasi perkembangan teknologi dan pemanfaatan informasi di dunia maya yang belum memprioritaskan keamanan dan perlindungan terhadap anak, ID-COP menyampaikan 9 rekomendasi untuk Indonesia.
1. Indonesia saat ini dalam keadaan darurat pornografi dan kejahatan online pada anak. Oleh karena itu, Pemerintah perlu memberikan perhatian dan melakukan langkah-langkah khusus serta percepatan tindakan untuk melindungi anak dari pornografi dan kejahatan online, menjamin hak bagi anak-anak korban, serta melakukan pemulihan bagi anak yang menjadi korban dan pelaku pornografi dan kejahatan online.
2. Terkait dengan rencana pemerintah membangun internet ke desa-desa dan sekolah- sekolah, serta meningkatkan infrastruktur telekomunikasi ke kawasan Indonesia Timur, maka hal ini perlu dibarengi dengan edukasi ke masyarakat sebagai pengguna internet dengan meningkatkan e-literasi. Kerjasama para pemangku kepentingan (multi- stakeholders) seperti pemerintah (Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah daerah), pelaku industri (penyedia jasa internet, operator telekomunikasi), organisasi masyarakat sipil (komunitas penggiat TIK) dan perguruan tinggi perlu dikembangkan untuk secara bersama mewujudkan masyarakat Indonesia yang melek teknologi digital dan melek informasi. Daerah Indonesia bagian Timur seperti kawasan Maluku, Papua dan NTT perlu mendapat perhatian penting untuk edukasi peningkatan e-literasi ini
3. DPR RI perlu melakukan pengawasan yang lebih serius terhadap implementasi UU dan kebijakan terkait perlindungan anak dari pornografi dan kejahatan online. Beberapa amanat UU No 44 tahun 2008 yang belum direalisasikan harus segera direalisasikan. Dalam kerangka legislasi dan implementasi regulasi yang ada, DPR perlu memberikan budget yang memadai atas program-program pencegahan, penanganan, pendampingan, dan pemulihan anak dari pornografi dan kejahatan online.
4. Pemerintah pusat dan daerah perlu memiliki program khusus yang didukung oleh struktur, aparatur dan anggaran yang memadai, yang diorientasikan untuk pencegahan, penanganan, pendampingan dan pemulihan anak korban dan pelaku pornografi dan kejahatan online secara sistemik dan komprehensif. Program ini ditujukan khususnya untuk para penanggung jawab perlindungan anak yakni orang tua di rumah, guru dan tenaga kependidikan di sekolah dan lembaga pendidikan lainnya, dan RT/RW/PKK/Posyandu/Kelompok Pengajian, dll. di lingkungan masyarakat.
5. Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim) perlu ditingkatkan jumlah dan kapasitasnya agar dalam menangani perkara anak korban pornografi dan kejahatan online menjadikan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utamanya, baik anak sebagai korban maupun pelaku, dengan mengedepankan restorative justice dan diversi bagi anak sebagai pelaku, saksi, dan korban pornografi dan kejahatan online.
6. Kemendiknas perlu memberlakukan Sekolah Ramah Anak (SRA) sebagai kebijakan nasional yang diberlakukan di seluruh sekolah di Indonesia. Dengan SRA, sekolah menjadi tempat pendidikan yang aman, nyaman, kondusif dan melindungi anak dari kekerasan (termasuk pornografi dan kejahatan online), eksploitasi, diskriminasi dan perlakuan salah di sekolah. Pemberlakuan SRA secara nasional diyakini dapat mencegah pornografi dan kejahatan online pada anak, dan menjamin korban untuk mendapat pendampingan dan pemulihan serta tidak kehilangan hak pendidikannya.
7. Kemendiknas perlu membuat kebijakan Sekolah Layanan Khusus (SLK) untuk memberikan pendidikan formal bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, termasuk anak korban atau pelaku pornografi dan kejahatan online yang memerlukan pendampingan, pemulihan, dan pembinaan khusus yang tidak mungkin dilakukan di sekolah reguler. Meraka mendapatkan pendidikan fomal di SLK tersebut hingga mereka siap kembali ke sekolah formal reguler. Dalam implementasinya, Sekolah Layanan Khusus ini pendiriannya dilakukan oleh Dinas Pendidikan sehingga terintegrasi dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di suatu wilayah.
8. Masyarakat, keluarga, dan orang tua perlu ditingkatkan pemahaman dan kapasitasnya dalam mengenali dan merespon pola-pola terkini pornografi dan kejahatan online, mengikuti perkembangan teknologi informasi agar tidak berdampak negatif bagi anak, dan selanjutnya berperan aktif khususnya dalam pencegahan pornografi dan kejahatan online pada anak.
9. Dinas pendidikan, sekolah dan komite sekolah perlu mengadakan program edukasi tentang pendidikan seks (sex education) dan literasi media kepada guru, orang tua dan anak yang diorientasikan untuk melindungi dan mencegah anak menjadi korban dan pelaku kekerasan seksual, pornografi dan perilaku seks beresiko termasuk kejahatan seksual online.
Apakah pemerintah, DPR, Aparat Penegak Hukum, Bisnis, dan masyarakat setuju dengan rekomendasi tersebut?
Leave a Reply