Untung tidak hujan. Kalau hujan, pasti perjalanan tim Relawan TIK Provinsi Banten bakal lebih sulit menapaki jalan tanah yang berubah menjadi kubangan lumpur. Mereka melangkah satu per satu, menyusuri jalan setapak yang membelah sawah. Sesekali, menyeberangi sungai kecil. Semua ini mereka tempuh demi satu tujuan, membawa ilmu ke sekolah satu atap di Pandeglang, Banten.

Tiga jam berjalan kaki bukan perjalanan yang ringan, tapi mereka tahu ada sesuatu yang lebih penting menunggu di sana. Anak-anak di sekolah ini ingin belajar. Hari ini anak-anak mau belajar Google Maps. Sebuah keterampilan sederhana yang di tempat lain sudah menjadi bagian dari keseharian. Praktik tak bisa dilakukan karena tidak ada sinyal internet di tempat ini.

Inilah kenyataan yang dipotret film ekspositoris dan observasional berjudul SINYAL. Di sekolah ini, di pelosok Pandeglang, anak-anak bahkan tidak bisa mengakses peta digital. Di tempat lain, orang-orang bicara tentang kecerdasan buatan, startup teknologi, dan revolusi digital. Pemerintah mengklaim internet sudah merata, satelit telah diorbitkan, dan jaringan telah diperluas ke seluruh negeri. Tapi di sekolah ini, sinyal pun tak ada.

Seorang bapak dalam film ini menyatakan satu hal hang mengharukan, “Yang ada di pusat sana, tolonglah kami. Kami juga sama, rakyat Indonesia.” Tidak ada nada marah, tidak ada emosi berlebih. Namun dalam kalimat itu tersirat sesuatu yang lebih dalam. Sebuah permohonan sederhana namun juga kritik yang tajam. Seolah-olah ia ingin berkata, bagaimana mungkin kita berbicara tentang kemajuan jika masih ada rakyat yang ketinggalannya kejauhan.

Para relawan terdiam. Beberapa meneteskan air mata. Mereka datang ke sini dengan semangat berbagi ilmu, tetapi mereka justru disadarkan oleh kenyataan yang lebih besar. Apa yang bisa mereka ajarkan jika infrastruktur paling dasar saja tidak tersedia? Tanpa internet, tanpa akses informasi, bagaimana anak-anak ini bisa mengejar dunia yang terus bergerak.
Perjalanan mereka bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan menuju kesadaran tentang kesenjangan digital yang begitu nyata. Kenyataan bahwa ada dua Indonesia yang berjalan di kecepatan berbeda. Di satu sisi, ada kota-kota besar yang menikmati koneksi tanpa batas, di mana internet menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, ada tempat seperti sekolah ini, di mana internet masih menjadi kemewahan yang belum tentu bisa dinikmati.

Film SINYAL adalah cermin yang memperlihatkan ironi pembangunan. Pemerintah boleh berbicara tentang satelit, kabel fiber optik dan proyek-proyek infrastruktur besar, tetapi bagi mereka yang tinggal di sini, yang mereka butuhkan bukan Makan Bergizi Gratis (MGB) tapi ABG, Akses Berinternet Gratis.
Leave a Reply