Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) sudah menjadi ancaman nyata bagi kesehatan mental dan keselamatan masyarakat, khususnya generasi muda. Kecemasan sosial bisa membius seseorang hingga melakukan tindakan berbahaya yang mengancam nyawa.
Ingat tragedi memilukan di Bekasi pada Juli 2021. Seorang remaja berusia 13 tahun kehilangan nyawanya dalam upaya menciptakan konten TikTok yang viral. Dalam aksi yang dikenal sebagai “Challenge Malaikat Maut“, remaja itu nekat menghadang truk yang sedang melaju, berharap bisa menghasilkan rekaman yang dramatis. Permainan berbahaya ini berakhir dengan harga yang tak ternilai: Seorang anak yang mestinya memiliki masa depan panjang pun meregang nyawa.
Tragedi serupa juga terjadi di Surabaya pada penghujung tahun 2020. Seorang remaja 16 tahun menjadi korban tawuran yang bermula dari tantangan di media sosial. Apa yang awalnya hanya berupa provokasi di dunia maya berkembang menjadi konflik fisik yang merenggut nyawa muda yang berharga.
Dua kejadian tersebut pernah ramai diperbincangkan netizen sebagai fenomena FOMO atau Fear of Missing Out. Tapi ternyata kasus akibat tren tersebut masih saja mengancam hingga saat ini. Bukan hanya anak dan remaja, bahkan orang tua pun bisa terbius juga.
FOMO jadi tren dan motivasi bagi remaja dan anak muda. Ini adalah kondisi psikologis yang nyata, ditandai dengan kecemasan mendalam akan tertinggal dari pengalaman atau momen berharga yang dialami orang lain, ingin viral di media sosial. Layaknya lingkaran setan, FOMO mendorong seseorang untuk terus terhubung dengan dunia digital, bahkan hingga mengabaikan keselamatan diri sendiri.
Seseorang yang mengalami FOMO akan menunjukkan beberapa karakteristik yang mencolok. Mereka seolah tidak bisa lepas dari ponsel, terus-menerus memeriksa update media sosial seperti orang kehausan mencari air. Lebih memprihatinkan lagi, mereka mulai membandingkan kehidupan mereka dengan apa yang mereka lihat di media sosial, menciptakan standar di luar nurul yang sulit dipenuhi.
Penelitian ilmiah mengungkap dampak serius FOMO terhadap kesehatan mental dan perilaku individu. Jurnal Computers in Human Behavior melaporkan korelasi yang kuat antara FOMO dengan tingkat depresi dan kecemasan yang meningkat. Ini bukan hanya masalah psikologis. Dampaknya merambah hingga ke kesehatan fisik, dengan banyak penderita FOMO yang mengalami gangguan tidur akibat kebiasaan scroll media sosial yang tak terkendali.
Untuk membaca jurnalnya, tersedia di sini: Fear of missing out: Testing relationships with negative affectivity, online social engagement, and problematic smartphone use
Lebih mengkhawatirkan lagi, FOMO dapat mendorong seseorang untuk mengambil risiko berbahaya demi mendapatkan pengakuan digital. Kasus-kasus tragis di Bekasi dan Surabaya menjadi bukti nyata bagaimana pencarian validasi di media sosial dapat berakhir fatal.
Meskipun FOMO tampak seperti monster yang menakutkan di era digital ini, ada beberapa langkah konkret bisa kita ambil untuk mengatasinya.
Pertama, mulailah dengan membatasi penggunaan media sosial secara sadar. Tetapkan “jam digital” khusus dan patuhi dengan disiplin. Hindari godaan untuk mengecek ponsel sebelum tidur, beri otak kita kesempatan untuk beristirahat dari bombardir informasi digital.
Bagaimana mempraktikkan ini? Di media sosial buatan META, seperti Instagram, ada fitur Manajemen Waktu, dengan fitur tersebut, kita bisa membuat batasan harian dan mode tidur. Di Android juga ada fitur Digital Wellbeing, bahkan lebih lengkap. Coba aktifkan!
Di sini ada panduan mengaktifkan Kesehatan Digital atau Digital Wellbeing, silakan download gratis: Buklet JEDA.
Kedua, alihkan fokus pada lingkungan di sekitar kita, yang kaya akan pengalaman autentik. Kembangkan hobi yang memberi kepuasan emosional. Luangkan waktu berkualitas bersama keluarga dan teman, atau hewan peliharaan. Buat yang pernah suka olahraga, kembali saja berolahraga yang membuat tubuh dan pikiran kita lebih sehat.
Ketiga, praktikkan mindfulness, kesadaran penuh akan momen sekarang. Teknik ini terbukti efektif dalam mengurangi kecemasan akan hal-hal yang mungkin terlewatkan, membantu kita lebih menghargai apa yang ada di hadapan.
Tragedi yang menimpa remaja di Bekasi dan Surabaya seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua. FOMO bukan hanya masalah sepele tentang kecanduan media sosial. Ini adalah fenomena sosial yang dapat mengancam nyawa jika dibiarkan tak terkendali.
Untuk mencegah tragedi serupa terulang, kita perlu mengambil langkah kolektif. Orang tua yang biasa sibuk kerja, sebaiknya mulai lagi membangun komunikasi terbuka tentang aktivitas anak di media sosial. Tetapkan batasan yang jelas namun tidak mengekang dan jadilah teladan dalam penggunaan media sosial yang sehat.
Begitupun pada pendidik. Selalu korelasikan dan mengintegrasikan aspek literasi digital dalam kurikulum pembelajaran. Libatkan murid dalam diskusi kritis terhadap tren media sosial, tekanan sosial, dan FOMO. Bila perlu ajak mereka untuk segera JOMO (Joy of Missing Out) kebalikan dari FOMO. Ini adalah perasaan bahagia karena memilih untuk tidak ikut serta dalam tren, merasa puas dan menikmati momen sendiri tanpa membandingkan diri dengan orang lain.
Leave a Reply