Review Film, Bukan Esai Politik

Dalam dunia yang dikuasai politik kotor, institusi penegak hukum yang seharusnya melindungi rakyat justru menjadi alat bagi mereka yang berkuasa. Ini sudah lazim. Sudah jadi rahasia umum. Drama Korea Bad Guys: Vile City (2017) menjadi cerminan utuh bagaimana jaksa, polisi, konglomerat, politisi dan gangster saling berkait-kepentingan dalam jaringan konspirasi yang menjadikan hukum sebagai senjata untuk mengalahkan lawan politik.

Meskipun banyak aksi aksi brutal, serial Bad Guys memberikan potret gelap bagaimana kekuasaan bekerja bukan untuk keadilan, tetapi untuk mempertahankan kendali atas kota dan rakyatnya. Saat menonton 16 serial ini dari awal sampai tuntas, saya selalu terdistraksi (kalo kata netizen: kedistrek) sama situasi politik di Indonesia. Di beberapa episode, saya sering meyakinkan diri kalau adegan yang saya tonton konteksnya di kota fiktif Seowon, Korea, bukan Indonesia, apalagi Sewon, Bantul.

Bad Guys: Vile City menggambarkan sebuah pola kejahatan terorganisir yang tak sekadar dilakukan oleh preman jalanan, tetapi juga oleh mereka yang mengenakan jas dan berdasi. Konglomerat Cho Young-gook mengendalikan kota dengan menyuap polisi, jaksa, dan pejabat publik, memastikan bahwa hukum berpihak padanya. Ketika ada ancaman terhadap kepentingannya, ia tidak perlu mengotori tangan sendiri. Cukup dengan menggerakkan aparat yang seharusnya menegakkan hukum.

Jaksa Woo Je-moon, meskipun awalnya digambarkan sebagai sosok yang idealis, akhirnya terjebak dalam permainan yang lebih besar dari dirinya. Di satu sisi, ia ingin melawan korupsi, tetapi di sisi lain, ia harus berhadapan dengan sistem yang sudah terjalin kuat antara aparat hukum dan dunia kriminal. Hal yang sama juga dialami oleh polisi dan gangster yang direkrut untuk membantunya. Mereka bukanlah orang baik, tetapi justru mereka yang paling memahami bagaimana sistem ini bekerja. Pada akhirnya pertarungan di Bad Guys: Vile City bukan antara polisi melawan penjahat, melainkan antara mereka yang berusaha mengendalikan kekuasaan dengan segala cara.

Kasus-kasus besar di negeri ini memperlihatkan bahwa hukum bisa dinegosiasikan, digelapkan, bahkan dihancurkan jika perlu. Para politisi yang ingin berkuasa memanfaatkan celah hukum, mempermainkan aturan demi kepentingan sendiri, serta membungkam kritik dengan berbagai cara, termasuk mengkriminalisasi aktivis dan mahasiswa yang turun ke jalan. Kampanye #IndonesiaGelap yang sedang ramai di berbagai kota merupakan bentuk akumulasi dari kemarahan masyarakat terhadap praktik-praktik ini. Seperti di Seowon, rakyat melihat bagaimana sistem bekerja bukan untuk mereka, tetapi untuk mereka yang memiliki uang dan pengaruh.

Sama seperti Bad Guys: Vile City, pertarungan bukan hanya terjadi di ruang sidang atau kantor polisi, tetapi juga di jalanan. Para demonstran yang menolak pengusiran atau penggusuran menghadapi represifitas aparat. Tim Woo Je-moon menghadapi sistem yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Kita melihat bagaimana suara rakyat sering kali diabaikan, digantikan oleh kepentingan para elite yang saling melindungi. Konglomerat tetap berkuasa, politisi tetap aman dalam jabatannya, dan hukum tetap menjadi alat permainan mereka.

Bad Guys: Vile City membabar upaya melawan sistem yang korup dan bagaimana sulitnya menumbangkan sistem tersebut. Ia menyajikan kenyataan pahit bahwa hukum tersesat dari jalan yang benar yaitu melindungi rakyat. Penerapan hukum kita tergantung siapa yang berkuasa untuk menafsirkan dan menggunakannya. Ingat ini terjadi di Seowon, bukan di “Konoha”.

Saat menulis bagian akhir, fokus saya kedistrek dengan berbagai feed medsos seperti, Band Punk Sukatani yang ujug-ujug minta maaf dan mencopot lagunya yang berjudul “Bayar Bayar Bayar”, juga tentang Hasto yang teriak-teriak saat ditahan, tentang jebakan betmen di kalangan politisi, dan intrik politik lainnya.


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.