Pendidikan Swedia Kembali ke Buku

Swedia baru-baru ini membuat keputusan yang menarik perhatian dunia pendidikan. Setelah 15 tahun menggunakan sistem pendidikan berbasis digital, pemerintah negara tersebut memutuskan untuk kembali memprioritaskan pembelajaran melalui buku cetak. Keputusan ini didasarkan pada hasil evaluasi yang menunjukkan dampak negatif dari pendidikan digital, seperti rendahnya kemampuan membaca dan menulis, berkurangnya fokus, dan menurunnya kemampuan menghafal pada siswa.

Sebagai negara maju yang telah lebih dahulu mendigitalisasi sistem pendidikannya, langkah Swedia ini memberikan pelajaran penting bagi kita di Indonesia, yang masih dalam fase “awkward digitalisasi.” Bukan berarti teknologi harus ditolak, tapi kita perlu bijak dalam menentukan porsi antara pendidikan tradisional dan digital.

Swedia memulai digitalisasi pendidikan pada awal 2000-an. Pada 2010, program digitalisasi semakin dipercepat dengan pengadaan perangkat seperti tablet dan laptop untuk siswa, serta pengembangan kurikulum berbasis teknologi. Langkah ini dilakukan untuk mendukung inovasi, efisiensi, dan akses pendidikan yang lebih luas di era digital.

Namun setelah lebih dari satu dekade, pemerintah Swedia menemukan adanya masalah mendasar. Penurunan kemampuan literasi dan fokus siswa menjadi perhatian utama, meskipun akses ke teknologi telah meningkat secara signifikan.

Ada beberapa alasan utama mengapa Swedia memutuskan untuk kembali ke buku cetak:

  1. Penurunan Kemampuan Membaca
    Data dari Swedish National Agency for Education menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan memahami bacaan yang panjang dan kompleks. Membaca di layar sering kali membuat siswa hanya “skimming” tanpa benar-benar menyerap informasi.
  2. Distraksi Digital
    Perangkat elektronik sering kali menjadi sumber gangguan. Selain belajar, siswa juga terpapar dengan media sosial, gim, dan aplikasi lain, yang mengurangi fokus mereka pada pelajaran.
  3. Kesehatan Mental dan Fisik
    Screen time berlebihan memengaruhi kesehatan mata, pola tidur, dan tingkat stres siswa. Hal ini menjadi salah satu perhatian utama dalam evaluasi dampak teknologi pada anak-anak.
  4. Kebutuhan untuk Memperkuat Dasar Literasi
    Pemerintah Swedia menyadari bahwa literasi merupakan fondasi penting untuk pendidikan jangka panjang. Buku cetak dianggap lebih efektif untuk membangun kemampuan ini.

Swedia adalah salah satu negara dengan indeks literasi tertinggi di dunia. Menurut World Population Review 2023, tingkat literasi di Sweden mencapai hampir 99%. Namun laporan terbaru menunjukkan penurunan kualitas literasi fungsional, yaitu kemampuan memahami dan menggunakan informasi secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi salah satu alasan kuat untuk memperbaiki metode pembelajaran.

Berbeda jauh dengan Swedia, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam literasi. Berdasarkan laporan UNESCO dan World Bank, tingkat literasi fungsional di Indonesia masih rendah. Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara dalam Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, terutama dalam kemampuan membaca. Data terbaru dari Central Connecticut State University’s World’s Most Literate Nations juga menempatkan Indonesia di peringkat bawah dalam indeks literasi global.

Digitalisasi di Indonesia juga masih berada dalam tahap yang disebut “digital literacy awkward.” Proses ini ditandai dengan ketidaksiapan infrastruktur, rendahnya literasi digital masyarakat, dan ketimpangan akses teknologi di berbagai daerah. Dalam konteks ini, Indonesia perlu belajar dari Swedia, yang setelah memaksimalkan digitalisasi selama 15 tahun, namun tetap menyadari pentingnya akar pendidikan tradisional.

Kebiasaan pemerintah Indonesia untuk mengikuti tren global atau “FOMO digital” juga harus dikritik. Di era Nadiem Makarim, pendidikan Indonesia fokus pada digitalisasi besar-besaran melalui program seperti Merdeka Belajar. Namun hasilnya masih belum terlihat signifikan, terutama dalam peningkatan kemampuan literasi siswa. Kini di bawah pemerintahan Prabowo, kebijakan pendidikan yang direncanakan perlu lebih bijak dengan tidak hanya berorientasi pada teknologi, tetapi juga memperkuat pendidikan dasar yang berbasis buku cetak.

Akar pendidikan seperti membaca, menulis, dan berhitung adalah fondasi yang tidak boleh diabaikan. Pendidikan tradisional membantu membangun budaya bangsa dan memperkuat karakter generasi muda. Hal ini menjadi hal yang sulit dicapai hanya dengan pendekatan digital.

Namun untuk kembali ke akar (baca: menguatkan minat baca) terhadang oleh tembok tinggi bisnis perbukuan. Harga buku di Indonesia yang masih sangat mahal. Bagaimana mungkin minat baca dapat terpenuhi jika daya beli masyarakat terhadap buku sangat rendah? Pemerintah harus membuat kebijakan untuk menurunkan harga buku, baik melalui subsidi maupun insentif bagi penerbit. Dengan harga buku yang lebih terjangkau, akses terhadap bahan bacaan akan meningkat, yang pada akhirnya dapat mendorong budaya literasi di kalangan masyarakat.

Indonesia perlu belajar dari pengalaman Swedia. Hybrid education -kombinasi antara metode tradisional dan teknologi- adalah pendekatan yang ideal asalkan porsinya tepat. Jangan sampai kita terlalu terobsesi dengan digitalisasi hingga melupakan esensi pendidikan: membangun kualitas individu dan karakter bangsa.

Yang kita butuhkan adalah kebijakan pendidikan yang konsisten, berbasis bukti, dan relevan dengan kondisi lokal. Masa depan pendidikan Indonesia tidak harus selalu mengejar tren, tapi harus fokus pada apa yang terbaik untuk anak-anak kita. Membentuk budaya membaca, mempermudah akses terhadap buku, dan memperkuat literasi dasar adalah langkah yang tidak bisa ditawar.

Artikel ini ditulis berdasarkan obrolan MT dalam Podcast Bareng AI


Discover more from #blogMT

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.