Obrolan anak-anak tongkrongan Kolaborasa (<=follow dong!) tadi malam makin seru aja. Di seri ke-19 mereka membahas soal Konteks Lokal. Di sela canda dan tawa, ada berbagai cerita menarik dari teman-teman beragam organisasi, komunitas, dan pemerintah daerah. Mereka menceritakan pengalamannya dalam melakukan kegiatan dengan menjadikan konteks lokal sebagai elemen penting yang perlu diperhatikan.
Ada satu hailait yang menarik dibahas dalam obrolan tersebut, yaitu dodol ganja cara pandang kita dalam melihat hubungan antara lokal-nasional atau pusat-daerah. Pandangan seperti itu sebenarnya dipengaruhi oleh warisan kolonialis yang mengakar. Kita dijebak oleh pandangan seolah-olah yang dari pusat itu lebih baik ketimbang yang ada di daerah. Kalau hal itu terjadi dalam konteks politik dan pemerintahan sih ya emang udah dari dulu dibentuk oleh “Jakarta” agar daerah manut pusat, tapi ternyata mindset kolonialis tersebut juga terjadi di dunia NGO. Masih banyak yang menganggap bahwa Enjio di luar Jakarta adalah Enjio Lokal, boro-boro disebut Enjio Internesyenel.
Menyimak obrolan tentang konteks lokal ini menarik. Kita jadi tahu kalau hal-hal yang kita anggap biasa di tempat kita, bisa jadi berbeda di tempat lain.
Teman dari Makassar cerita tentang batas RT/RW di daerahnya. Apa yang di Pulau Jawa dianggap sebagai sistem administrasi sederhana, di Makassar justru menjadi sumber konflik. Batas RT bukan sekadar garis di peta, tapi penentu akses sumber daya dan kekuasaan. Perebutan batas wilayah terjadi karena di situlah letak uang dan kesempatan hidup lebih baik.
“Waktu kami coba metain wilayah pakai sistem RT/RW kayak di Jawa, malah berantem soal batas. Karena kalau hotel besar masuk RT mereka, berarti ada potensi pendapatan pajak yang lebih besar,” ceritanya, getir.
Di Papua, keberhasilan program literasi digital “Jawara Internet Sehat” tercapai karena mereka melakukan pendekatan yang sesuai dengan masyarakat lokal. Pendekatan berbasis tokoh adat dan kepala kampung menjadi kunci sukses.
Di Lampung, sekelompok anak muda membuat wayang dari kulit sapi yang mereka samak sendiri untuk mengkampanyekan literasi digital dalam konteks lokal. Mereka menulis naskah sendiri, memainkan cerita yang mencerminkan kehidupan mereka, dan tidak mengandalkan “modul pelatihan” dari Jakarta.
Di Natuna, tim pelaksana masuk ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) untuk mengajarkan literasi digital dengan metode teater dan permainan. Mereka tidak mengandalkan ceramah tapi menciptakan suasana belajar yang sesuai dengan dunia anak-anak di sana. Ini bisa terwujud karena para pelaksana kegiatan sangat memahami konteks lokal.
Sementara di Sulawesi Barat, teman Jawara Internet Sehat yang melakukan kegiatan literasi digital sengaja menambahkan banyak logo sponsor di spanduk program mereka. “Masyarakat kami akan percaya kalau ada banyak sponsor. Jadi, kami tempel semua logo yang ada, biar kelihatan resmi, penting.” katanya sambil tertawa.
Humor itu menyiratkan kenyataan pahit: ketergantungan terhadap “pusat” harus diakali agar proyek yang mereka rancang dari bawah bisa berjalan.
“Lokal” sering kali menjadi label yang ditempelkan dengan konotasi inferior. Seolah-olah yang “nasional” lebih penting, sementara yang “lokal” hanyalah pelengkap.
Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi cermin dari bagaimana relasi pusat-daerah dipahami. Wilayah di luar pusat sering dilihat sebagai tempat yang harus “ditata” oleh pusat, seolah-olah yang lokal tidak cukup pintar untuk mengatur dirinya sendiri. Pola pikir ini adalah warisan kolonial yang terus hidup, diselubungi dalam kebijakan yang beraroma pembangunan.
Obrolan malam ini berupaya mendobrak pandangan itu habis-habisan. Bagaimana melawan narasi kolonialis dengan cara-cara yang sederhana dan mengakar kuat. Lokal bukan jangan dipandang sebagai pinggiran dari pusat karena setiap tempat adalah pusat bagi dirinya sendiri. Lokal itu bukan pelengkap, tapi aktor utama. Masyarakat di desa, kampung, dan kota kecil memiliki pengetahuan dan kekuatan yang sering kali diabaikan oleh narasi besar yang datang dari ibukota dengan segala keangkuhannya.
Saat mau menutup tulisan ini karena ngantuk, aku mikir juga sih. Di era digital ini, udah gak relevan banget kalo kita masih punya cara pandang lokal-nasional, pusat-daerah. Teknologi telah menghapus batas-batas yang kaku, sekaku undang-undang dan peta. Karena itu kita juga perlu menghapus batasan tersebut di pikiran kita.
Memahami lokal sebagai poros utama bukan soal desentralisasi tapi soal menghormati manusia di setiap sudut negeri dan mempercayai bahwa mereka tahu cara terbaik untuk hidup di tanah mereka sendiri.
Pandangan kolonialis ini juga masalah berat yang masih mendominasi kepala para elit partai politik kita sehingga empatinya lenyap saat menindas masyarakat yang tanahnya dikuasai perusahaan dengan mengandalkan Proyek Strategis Nasional (PSN). Lu pikir masyarakat butuh segala kemewahan yang dibangun Pusat di tanah mereka? Yang mereka butuhkan adalah tanah dan alam mereka yang terjaga, shommmplak!
Leave a Reply