Bahasa itu dinamis. Kadang muncul istilah yang viral di ruang publik, jadi tren, lalu perlahan pudar seiring pergantian isu baru. Dari banyak istilah baru, ada istilah yang sering banget dipakai, istilah yang sering muncul dalam berbagai konteks di Indonesia, yaitu “kedaulatan.”
Dulu ada kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, kedaulatan negara, kedaulatan maritim, kedaulatan pangan, lalu naik ke kedaulatan energi, terus merembet ke kedaulatan digital, kedaulatan data, dan sekarang, di era AI, muncullah kedaulatan AI. Istilah ini terkesan berwibawa. Tapi jujurly saya mikir, apakah benar kita sudah berdaulat atas apa-apa yang kita sebut kedaulatan itu? Kedaulatan maritim aja deh, apa kabar pagar laut? Kedaulatan rakyat, apa kabar masyarakat yang ditendang karena tambang, masyarakat yang makin terjepit karena sawit?

Balik lagi deh ke topik. Pemerintah dan para pemangku kepentingan sering banget bicara tentang pentingnya kedaulatan digital. Terdengar keren. Negara harus punya kontrol penuh atas ekosistem digitalnya sendiri, jangan sampai data warganya dikuasai perusahaan asing, dan harus bisa mengembangkan teknologi lokal sendiri. Tapi kenyataannya? Kita masih jadi negara pengguna, bukan pencipta. Kita sering teriak kedaulatan data sambil rutin menyetor data setiap detik ke luar.
Dari e-commerce, media sosial, sampai layanan cloud, kita tetap bergantung pada platform asing. Sebagian besar data kita tersimpan di server luar negeri. Bahkan dalam pengembangan AI, sebagian besar yang digunakan oleh industri dan masyarakat tetap berbasis model dari OpenAI, Google, Microsoft, atau lainnya. Lantas kedaulatan digital yang sering digembar-gemborkan itu, benar-benar ada atau cuma wacana supaya pemerintah terlihat inovatif? Atau jangan-jangan itu cuma pelampiasan FOMO pejabat pemerintah aja?
Ganteng gak sih kita bicara kedaulatan AI kalau akses internet di banyak daerah saja masih kacau. Indonesia adalah negara kepulauan yang luas, tapi pemerataan infrastruktur digital masih sangat buruk. Di Jakarta dan kota-kota besar, kita bisa menikmati kecepatan internet yang lumayan stabil. Tapi coba ke daerah pedalaman atau bahkan beberapa kabupaten di luar Pulau Jawa. Internet sering putus-putus, kecepatannya menyedihkan, dan biayanya bisa lebih mahal dibanding di Jakarta.
Lebih parah lagi pemerintah sendiri punya rekam jejak memutus akses internet dengan alasan keamanan politik. Kasus pemadaman internet di Papua beberapa tahun lalu adalah contoh nyata bagaimana internet bisa dijadikan alat kontrol oleh negara. Bagaimana kita bisa bicara tentang literasi digital maupun kedaulatan AI kalau akses internet saja masih dikontrol berdasarkan kepentingan politik?
Waktu ramai soal kebocoran data, muncul istilah kedaulatan data. negara akan melindungi data warganya dan mengelola data sendiri tanpa bergantung pada layanan asing. Tapi, yang terjadi malah regulasi yang lebih condong ke kepentingan pemerintah dan korporasi ketimbang benar-benar melindungi data rakyatnya. Sekarang AI jadi tren dan kita mulai mendengar istilah kedaulatan AI. Narasi yang digunakan mirip dengan yang sebelumnya, seperti harus ada regulasi, harus ada perlindungan, harus ada inovasi lokal. Tapi kita perlu bertanya, apakah ini benar-benar agenda strategis untuk kepentingan masyarakat atau sekadar supaya terlihat ikut perkembangan zaman atau seperti orang tua yang kepo banget dan mau mengontrol penuh anaknya mau ngapain dengan akses internet di tangannya?
Merespon tren AI, pemerintah merilis Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Stranas KA) 2020-2045. Dokumen ini menampilkan rencana jangka panjang tentang bagaimana AI akan digunakan di berbagai sektor, dari pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, hingga smart city. Dari segi dokumen resmi, isinya terlihat megah, lengkap dengan jargon-jargon futuristik yang menjanjikan Indonesia sebagai pemain utama di era AI. Tapi seberapa realistis rencana ini?
Banyak poin dalam strategi ini yang masih terdengar sebagai harapan besar tapi tanpa landasan infrastruktur yang jelas. Akses internet yang masih timpang, minimnya talenta AI, dan ketergantungan pada teknologi luar seolah bukan masalah. Bicara tentang kedaulatan AI tapi yang dibahas siapa yang memanfaatkan AI, siapa yang pakai AI, bukan siapa yang mengembangkan dan mengelolanya.
Duh, lagi-lagi jadi ingat istilah kedaulatan data. Saya tuh bingung seperti apa kedaulatan yang dimaksud pejabat pemerintah. Toh, yang saya lihat, bagaimana mungkin berdaulat kalau mindset kita masih user atau konsumen, bukan mitra (vendor) apalagi pengembang teknologi. Selama kita masih rutin setor data ke negara lain, malu gak sih cawe-cawe kedaulatan data, kedaulatan digital, kedaulatan AI?
Kita baru pantas ngomong kedaulatan AI kalau memiliki model AI yang dikembangkan secara mandiri bukan BCA dan tidak bergantung sepenuhnya pada OpenAI, Google, Microsoft, dsb. Jadi ketimbang maksain pakai istilah “kedaulatan AI” yang kesannya terlalu besar, mungkin lebih realistis kalau kita pakai istilah “Adaptasi AI” aja dulu, kedaulatannya nanti. Setidaknya sebelum bisa punya model sendiri, kita pastikan dulu kalau teknologi AI yang kita gunakan bisa dikelola, dikontrol, dan dimanfaatkan dengan cara yang menguntungkan talenta Indonesia. Lagi pula, sebenarnya yang perlu berdaulat itu kita sendiri. Bagaimana kita berdaulat terhadap teknologi, bukan teknologi yang berdaulat terhadap kehidupan kita.
Leave a Reply