Golput 46,95% dalam Pilkada Jakarta 2024 adalah sebuah pernyataan keras dari warga Jakarta yang memilih untuk “tidak memilih”. Jika golput dianggap sebagai sebuah pilihan, maka ia adalah pemenang sesungguhnya, mengalahkan perolehan suara Pramono-Rano yang hanya 50,07% dari pemilih yang berpartisipasi, atau sekira 25% dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Di antara hiruk-pikuk kampanye dan klaim kemenangan, kita mesti menyadari bahwa Pilkada Jakarta 2024 dicuekin hampir dari setengah warganya. Dari 8,2 juta pemilih yang terdaftar, hampir 4 juta warga Jakarta memilih untuk Golput. ini harus dipahami sebagai protes yang sangat jelas terhadap sistem politik yang gagal merepresentasikan aspirasi publik.
Para pengamat politik menyebutnya sebagai “educated abstention” atau golput yang terdidik. Warga Jakarta yang kritis dan melek politik sengaja nggak memberikan suaranya sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pilihan yang tersedia. Mereka sadar bahwa kandidat yang ada lebih mencerminkan kepentingan elite parpol ketimbang aspirasi warga Jakarta.
Gubernur Seperapat
Gubernur terpilih nantinya harus memimpin Jakarta dengan beban legitimasi yang berat. Secara hukum kemenangan mereka sah karena mengikuti prosedur yang berlaku namun secara sosial mereka harus menghadapi fakta bahwa, lebih banyak warga Jakarta yang tidak memilih mereka.
Bagaimana pantas mengklaim “pilihan rakyat” saat cuma seperempat dari total pemilih yang memberikan dukungan? Ini akan menjadi tantangan serius dalam implementasi kebijakan-kebijakan yang membutuhkan dukungan publik yang kuat.
Gubernur terpilih harus membuktikan kelayakannya. Setiap kebijakan perlu didukung legitimasi yang kuat melalui pelibatan publik yang intensif. Keputusan-keputusan penting tidak bisa lagi diambil dengan pendekatan top-down dan demi keuntungan parpol, melainkan harus melalui proses deliberasi yang melibatkan warga Jakarta.
Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama untuk membangun kepercayaan publik. Program kerja tidak boleh sekadar menjadi janji kampanye, tapi harus benar-benar menyentuh kebutuhan semua lapisan masyarakat Jakarta. Ingat warga Jakarta bukan cuma orang-orang kaya yang tinggal di Kawasan Elit Reklamasi‼️
Pilkada yang Pahit
Tingginya angka golput adalah pembelajaran pahit bagi sistem politik kita. Sistem pemilihan kepala daerah perlu dievaluasi secara mendasar, terutama dalam hal mekanisme pencalonan yang saat ini masih didominasi kepentingan partai politik.
Legitimasi demokrasi tidak hanya diukur dari kemenangan prosedural. Diperlukan indikator baru yang mempertimbangkan tingkat partisipasi dan representasi aspirasi publik yang sesungguhnya. Sistem politik juga perlu membuka ruang bagi bentuk-bentuk protes konstruktif selain golput.
Krisis Legitimasi
Kocak menyaksikan para politisi menyalahkan KPUD Jakarta atas rendahnya partisipasi pemilih. Taufik Tope Rendusara dari Partai Demokrat Jakarta bahkan menuntut Pemungutan Suara Ulang (PSU) dengan dalih kurangnya legitimasi. Kubu Dharma Pongrekun – Kun Wardana pun menolak menandatangani hasil pleno dengan alasan serupa.
Argumentasi mereka soal formulir C6 yang tidak sampai ke pemilih adalah dalih yang dangkal, sedangkal pemahaman mereka terhadap watak warga Jakarta. Lagipula di era digital warga Jakarta yang teredukasi dan melek informasi pun gak bakal bergantung pada selembar undangan untuk menentukan pilihan politiknya. Banyak juga yang terima undangan tapi tetap Golput. Saya salah satunya.
Sejujurnya krisis legitimasi tidak hanya menimpa KPU. Seluruh elemen sistem politik kita sedang menghadapi krisis kepercayaan yang akut.
Partai politik kehilangan legitimasi karena gagal menghadirkan calon yang sesuai aspirasi publik. Mereka lebih mengutamakan kepentingan elite partai dibanding keinginan rakyat. Survei jelas menunjukkan tokoh-tokoh populer seperti Anies dan Ahok memiliki elektabilitas tinggi, namun partai politik justru mengabaikannya.
Para calon yang diusung juga menghadapi masalah legitimasi serius. Pasangan Pramono-Rano yang mengklaim kemenangan hanya mendapat dukungan sekira 25% dari total pemilih. Ini berarti 75% warga Jakarta tidak memberikan mandat kepada mereka. Tak pantas mengklaim representasi rakyat dengan angka sekecil itu.
Tak Perlu Diulang
Tuntutan Pemilihan Suara Ulang juga percuma karena tetap tidak bakal mendapatkan legitimasi rakyat. Kalaupun pemungutan suara diulang, tanpa perubahan fundamental dalam sistem politik, hasilnya mungkin tidak akan jauh berbeda. Warga Jakarta telah menunjukkan sikap kritisnya dengan Golput.
Yang dibutuhkan bukan pengulangan ritual demokrasi melainkan reformasi mendasar sistem politik. Partai politik harus kembali ke fungsi utamanya sebagai agregator aspirasi publik. Mekanisme pencalonan harus dibuka seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat. Dan yang terpenting, politik harus kembali menjadi instrumen untuk melayani kepentingan rakyat, bukan sekadar alat meraih kekuasaan dan menghisap anggaran proyek untuk Partai.
Tantangan utama Gubernur 25% bukan hanya menjalankan program kerja, tapi memulihkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Golput yang mencapai hampir 50% adalah alarm keras yang tidak bisa diabaikan.
Tanpa perubahan fundamental dalam sistem politik kita, golput mungkin akan terus menjadi “pemenang sesungguhnya” dalam pemilihan-pemilihan mendatang.
Leave a Reply