Banyak peraturan di Indonesia saling tumpang tindih dan gak terkoordinasi. Kita hidup di negara yang aturannya terlalu banyak, tapi bukannya memudahkan malah membingungkan.
Misalnya, nih. Saat pemilu masyarakat bingung harus melapor ke mana kalau menemukan konten berbahaya. Sebelum masa kampanye, itu ranah Komdigi (dulu Kominfo yang menterinya -Plate- korupsi dan pegawainya jadi beking bandar judol). Tapi begitu masuk masa kampanye, tanggung jawabnya pindah ke Bawaslu. Ada juga peraturan KPU yang khusus mengatur iklan di media massa dan media sosial. Hasilnya? Semua jadi serba gak jelas, bikin masyarakat ilfil buat berkontribusi.
Penyedia platform digital pun kesulitan. Mereka gak tahu aturan mana yang harus dipakai saat memoderasi konten, apakah mengacu ke peraturan KPU, Bawaslu, atau UU ITE. Belum lagi undang-undang lainnya yang juga -kalau kata orang Cabangbungin- ngebadeg.
Itulah salah satu pertimbangan kenapa Regulasi harus di-streamline. Kita butuh kebijakan yang terintegrasi, simpel, dan komprehensif. Semua pemangku kepentingan -dari pemerintah, pengawas, hingga penyedia platform- harus berada di jalur yang sama, sehingga pemilu selanjutnya bisa diawasi dengan lebih efisien dan efektif. Tanpa ini, beban akan terus jatuh ke masyarakat yang sering dibuat bingung sama pengelola negara karena aturan yang bejibun tapi tidak efektif.
Itu yang kutangkap dari pernyataan Noudhy Valdryno, Deputi Bidang Diseminasi dan Media Informasi, saat diskusi membahas hasil survei dari CSIS dan Safer Internet Lab di Auditorium CSIS, 16 Januari 2025.
Regulasi itu, kata Noudhy, harus adaptif. Jangan cuma jadi tempelan buat pamer bahwa pemerintah ngerti teknologi, tapi gak punya solusi nyata buat masalah yang dihadapi masyarakat.
Kalau menurut survei yang dipaparkan Arya Fernandes dari CSIS, teknologi generatif AI seperti deepfake bukan cuma alat hiburan. 71,5% responden Pemilu 2024 mengaku pernah terpapar konten berbasis AI generatif, dan lebih dari 20% di antaranya ikut menyebarkannya tanpa cek fakta dulu.
Arya cerita, teknologi ini bikin konten manipulatif yang nyaris gak bisa dibedakan dari kenyataan. Hasilnya? Kebohongan jadi kelihatan nyata. Misalnya, video deepfake yang menampilkan seorang tokoh politik bilang sesuatu yang gak pernah dia ucapkan. Ini bukan cuma bikin masyarakat bingung, tapi juga bikin demokrasi kita berantakan.
Sementara itu, survei dari Safer Internet Lab (SAIL) yang dipresentasikan Belsazar Chrisetia menambah data mengejutkan. 49,47% ancaman disinformasi berbasis AI berasal dari deepfake video, sementara gambar manipulasi menyumbang 27,66%. Bot dan akun palsu juga gak kalah berkontribusi: 26,76% produksi hoaks datang dari sini. “Teknologi ini menciptakan realitas alternatif yang mengacaukan kepercayaan publik. Kita gak bisa cuma reaktif, tapi harus strategis dalam menghadapi ini,” ujar Belsazar.
Selain masalah teknologi, Arya dan Belsazar sepakat bahwa literasi digital masyarakat Indonesia masih terlalu lemah. Hanya 5% responden yang mau melaporkan berita palsu ke kanal resmi. Sisanya? Cuek atau malah ikut nyebarin.
Belsazar juga bilang bahwa koordinasi multipihak saat ini cenderung reaktif. Kerja sama baru kelihatan kalau ada krisis besar kayak pemilu atau pandemi. Di luar itu, ya balik lagi ke pola kerja sporadis. “Kalau cuma reaktif, kita gak akan pernah bisa atasi akar masalah ini,” kata dia.
Diskusi panel dalam seminar “Rilis Survei Nasional: Menyusun Peta Jalan Menghadapi Gangguan Informasi di Era AI Generatif”ini juga menghadirkan Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers. Menurut Ninik, media punya peran penting sebagai garda depan melawan disinformasi. Tapi tantangan terbesar mereka adalah independensi yang sering diganggu oleh tekanan politik dan ekonomi. “Media harus dilindungi biar tetap kritis dan berani,” ujarnya.
Ninik juga gak segan menyinggung kebiasaan pemerintah yang suka menyalahkan masyarakat soal disinformasi. Padahal, menurutnya, masalah utama ada di tata kelola informasi yang gak transparan. “Kalau akses informasi dibuka dan partisipasi masyarakat dilibatkan, ruang buat hoaks bakal jauh lebih kecil,” tegasnya.
Agung Yudhawiranata dari Blue Owl Group menambahkan, inkonsistensi regulasi bikin masalah makin rumit. Kasus serupa sering kali ditangani berbeda karena kebijakan yang gak sinkron. “Regulasi yang tumpang tindih itu cuma bikin orang bingung dan gak percaya,” katanya. Dia juga mengusulkan desentralisasi regulasi, di mana sektor-sektor seperti media dan platform digital bisa bikin pedoman sendiri, sementara pemerintah cukup jadi fasilitator.
Sementara itu, Bredipta Socarana dari SAIL menyoroti pentingnya diskusi lintas pihak yang lebih fleksibel. “Kadang, komunikasi formal malah jadi penghalang. Kalau bisa lebih cair, kita bisa dapat solusi yang lebih konkret,” jelasnya. Dia juga bilang, ruang diskusi informal bisa jadi jalan untuk menemukan titik temu yang lebih jujur dan efektif.
Masalah disinformasi di era AI generatif gak bakal selesai kalau pemerintah cuma bikin regulasi buat gaya-gayaan. Selama ini, regulasi yang ada lebih banyak hasil dari reaksi panik atau FOMO (fear of missing out) tanpa melihat kebutuhan jangka panjang. Hasilnya? Banyak aturan yang tumpang tindih dan gak sinkron.
Pemerintah juga punya kebiasaan buruk: menyalahkan masyarakat karena dianggap kurang literasi digital. Padahal, seperti yang dibilang Ninik, tata kelola informasi yang buruk adalah akar masalahnya. Kalau pemerintah mau jujur, mereka harus ngaku bahwa mereka sendiri sering jadi penyebab kebingungan informasi.
Lebih spesifik tentang pemaparan hasil survei bisa baca 3 artikel saya di internetsehat.id
Leave a Reply