Karena pernah mengalami nyaris bertabrakan dengan sesama pejalan kaki, aku hampir selalu mengingat pengalaman ini. Dulu, sekitar tahun 1995, ketika rutin menghabiskan siang di Perpustakaan CSIS Jalan Tanabang 3, aku berjalan di lorong antara rak buku bersama seorang temanku. Kami berdua jalan berjajar. Tiba-tiba di hadapan kami ada seorang ibu yang juga menelusuri gang di antara rak buku. Berlawanan arah. Ketika kami saling berhadap-hadapan, ibu tersebut mengingatkan dengan ramah “mbok ya kalau jalan dibiasakan di sebelah kiri!”. Tomi, temanku yang berjalan di sebelah kananku langsung minta maaf dan memberikan jalur yang menjadi hak ibu itu.
Bisa jadi kita sering berpapasan dengan orang lain di jalur publik. Misalnya di jembatan penyebrangan, di gang, di mall, di jembatan busway, dan di jalur pejalan kaki lainnya. Nasehat ibu di perpustakaan CSIS itu, menjadi patokanku sehingga aku selalu berjalan di sebelah kiri, tidak di kanan.
Bertahun-tahun kemudian, di jembatan menuju halte busway ITC Cempaka Mas, aku mengalami kejadian yang sama.
Aku berjalan di sebelah kiri dan rombongan penumpang yang meninggalkan halte busway berjalan beriringan di hadapanku. Di sebelah kananku. Ketika aku saling berhadap-hadapan dengan salah seorang pejalan kaki, aku ucapkan apa yang pernah diingatkan oleh seorang ibu di perpustakaan CSIS dulu, “Biasakan jalan di sebelah kiri, mbak!” kataku sambil tersenyum.
Rupanya yang diingatkan malah marah. Ia membentak, “Emang ini jalan nenek moyang lu!” Ia tak mau bergeser memberiku jalan. Aku diam berdiri. Kami sama-sama berhenti dan berhadap-hadapan. Saling menatap.
Kutunggu beberapa detik, hingga ia mau bergeser memberiku jalan. Untuk bergeser ke sebelah kanan tak mungkin kulakukan karena banyaknya rombongan pejalan kaki yang berlawanan arah. Lumayan lama akhirnya perempuan cantik itu mengikuti pejalan kaki lain di jalurnya, yang berjalan di sebelah kiri sambil memakiku, “Egois! Bego!”.
Kulanjutkan langkahku sambil menyenandungkan lagu yang sejak awal kudendangkan di hatiku.
Leave a Reply