“Saya tak punya alasan untuk memberi secengan padanya. Lagi pula, selama ini saya pikir tak perlu sebuah alasan untuk memberi. Realitasnya adalah, ia meminta, saya memberi. Itu saja! Ngapain repot-repot cari alasan.”
#blogmt
Kekayaan adalah hak setiap orang untuk mendapatkannya. Tidak ada larangan dalam agama apapun untuk menjadi kaya. Sedangkan kemiskinan itu bukanlah anugerah, melainkan risiko yang harus diterima seseorang atas pilihan hidupnya. Pernyataan itu kudengar dari beberapa seminar, di Jakarta maupun di kota lainnya.
Begitu banyak seminar diselenggarakan. Sering sekali e-mail berisi undangan seminar kuterima. Begitupun di facebook, sering kudapatkan pesan berisi undangan seminar, workshop, training, yang intinya adalah pengembangan diri dan enterpreneurship. Aku tak menampik datangnya undangan apapun. Bahkan spam yang berisi jualan impian, minta sumbangan, bahkan ajakan meraup uang secara instan via internet pun tak ku-blocking. Ini risiko berinteraksi di dunia maya. Menyumpahinya pun hanya buang-buang energi saja.
Sekali-sekali, kurasakan “seru” juga mengikuti seminar begituan. Ketika di dalam ruangan, saat sang trainer/motivator sedang presentasi, aku merasakan energi yang meluap-luap. Merasa seperti ada yang terlupakan selama menjalani hidup dan baru “ngeh” ketika menyimak kata-kata bak mantra dari bacot sang pembicara.
Tapi seringkali semangat itu hanya terasa tidak lebih dari 7 hari saja. Bahkan pada beberapa orang, hanya terasa saat masih berada di dalam ruangan saja. Walau ada juga yang bertahan selama hidupnya. Orang seperti ini bolehlah mendapatkan acungan jempol, karena telah terjadi perubahan dalam gaya hidupnya. Dandanannya selalu rapih agar mengesankan orang yang sukses. Bicaranya selalu bersemangat agar mengesankan orang yang optimis. Namun (Bukan Bang Namun!) kadang aku tak melihat perubahan tabiat. Tak ada perubahan pada jiwanya. What?
Dalam perjalanan pulang seminar dari Bandung. Aku termasuk orang yang beruntung dari 5 orang lainnya, yang diberi tumpangan oleh salah seorang trainer yang membawa Innova kebanggaannya, menuju Jakarta. Sepanjang jalan kami mengulas pesan-pesan dari sang trainer.
Salah seorang mengulas, “Aku baru sadar, kalau selama ini cita-citaku menjadi orang dermawan, terhalangi oleh ketidakberdayaanku membebaskan diri dari kemiskinan.”
Yang lain mengulang, “Ya, jika kita tidak kaya, bagaimana mungkin bisa membantu orang lain?”
Yang lain menyetujui, tapi tidak seperti koor setuju anggota legislatif yang kadang terhormat di gedung kura-kura hijau sana.
Memasuki Jakarta, mobil berhenti karena menaati kode Lampu Merah. Seorang pengamen tua mendendangkan lagu nestapa. Aku memerhatikannya karena duduk paling pinggir dekat jendela, di belakang si empunya innova. Kuberikan selembar rupiah kepadanya, lalu iapun beranjak ke mobil lainnya. Tapi spontanitasku menuai protes.
“Mas, MT! Jika Anda ke sini lagi tahun depan, pasti orang itu masih ngamen!” Kata seorang yang duduk di belakangku.
“Apa yang Anda lakukan, justru membuatnya semakin malas!” kata yang lainnya.
“Mestinya Anda tak memberinya uang, tapi memberinya pengertian bahwa hidup itu harus survive, harus berjuang!” kata yang duduk di sebelah supir atau yang punya mobil.
“Orang seperti itu, tak punya tanggung jawab terhadap anak-anaknya. Apa mungkin ia sanggup membiayai pendidikan dan kebutuhan hidup anaknya secara layak?” sambung yang punya mobil.
Kuresapi pernyataan mereka. Aku sadari, di mobil ini, hanya aku sendiri versus 5 penumpang plus 1 pemberi tumpangan.
“Apa alasan Anda, memberikan uang kepada pengemis itu? Dia itu bukan ngamen, tapi ngemis!” yang paling terakhir rada membentakku.
Aku nyatakan, “Saya tak punya alasan untuk memberi secengan padanya. Lagi pula, selama ini saya pikir tak perlu sebuah alasan untuk memberi. Realitasnya adalah, ia meminta, saya memberi. Itu saja! Ngapain repot-repot cari alasan.”
“Tapi Anda sadar, dengan uang yang anda berikan, orang itu akan terus miskin, malas, benalu!” sambut salah satu penumpang yang duduk paling depan di sebelah supir atau yang punya mobil.
“Buat saya, uang seribu tadi, tidak akan membuatnya miskin. Itu uang halal, bukan hasil korupsi atau hasil nilep pajak. Lagipula, dalam pandangan saya, pak tua itu bukan pemalas. Kalau ia malas, pasti ia sedang asyik tidur di kolong jembatan saat panas terik di tengah hari ini. Orang-orang seperti pak tua pengamen itu, bukan benalu. Mereka hidup dalam kemiskinan karena benalu borjuis yg hidup makmur di negeri ini.”
“Mereka miskin karena malas, tak mau berubah!” sambung yang duduk di belakangku.
“Saya yakin, miskin itu bukan pilihan mereka. Tidak ada orang yang mau hidup dalam kemiskinan terus menerus, tujuh turunan, tujuh tanjakan, tujuh tikungan. Semua orang pasti ingin kaya. Tapi, maaf bapak-bapak sekalian…. kenyataanya, tak ada orang yang benar-benar mau memahami kemiskinan mereka. Apalagi merasakan kemiskinan mereka. Maaf, pak…. Saya tak berniat memiskinkan mereka karena seribuan yang saya berikan. Lagipula, sepanjang jalan tadi bapak-bapak pernah mengatakan, ingin menjadi orang kaya agar bisa membantu orang lain. Pak,… untuk berbuat baik, saya pikir tak perlu menunggu kaya. Faktanya, belum kaya saja, Anda begitu bangga memandang rendah profesi orang lain. Boro-boro peduli…. Maaf, pak. Kalau seribuan yang saya berikan ke pak tua tadi, akan membuatnya malas, bagaimana dengan Bapak trainer… maaf loh pak… Saya hanya memberikan seribu perak. Tapi bapak telah memberikan tumpangan dari Bandung ke Jakarta, gratis. Apakah itu tidak termasuk memalaskan kami dan memiskinkan kami yang menumpang?” Pungkasku sebelum turun di halte terdekat.
Begitulah. Kekayaan, walau sebatas impian, dapat membius orang mabuk dalam khayal. Bahkan sekadar mengkhayalkan hidup kaya saja sudah membius pelakunya dalam kepongahan. Tetapi ada juga orang-orang kaya yang tak terbius oleh kekayaannya. Adalah mereka yang menginsyafi kekayaannya dalam komposisi 20% harta, 80% jiwa. Sebesar apapun nilai hartanya, tetap jiwanya lebih besar daripada kekayaannya.
Semoga bermanfaat
Leave a Reply