Rilis Global Terrorism Index (GTI) 2019, Indonesia berada pada urutan ke-35 dari 138 negara yang terdampak terorisme. Ancaman terorisme di Indonesia masuk dalam kategori dampak medium. Apakah ini berarti Indonesia negara yang damai?
Rasa damai adalah satu hal. Kita bisa tetap merasa damai meskipun situasi politik di negeri “beli kucing dalam karung” ini cenderung rawan gesekan. Jika dibandingkan dengan negara lain yang mendapatkan skor 0 dalam GTI, Indonesia bukan negara yang aman dari ancaman terorisme.
Berdasarkan skala GTI tersebut, Afghanistan adalah negara yang paling memiliki dampak sangat tinggi (very high impact) terhadap terorisme. Urutan berikutnya dalam kategori ini adalah Irak, Nigeria, dan Siria. Itulah 4 negara di dunia yang memiliki dampak paling tinggi soal terorisme.
15 Negara masuk dalam kategori High Impact. Pakistan, Somalia, dan India ada di urutan teratas dalam skala ini. Ada 2 negara Asia Tenggara dalam kategori ini yaitu Filipina dan Thailand.
Indonesia sendiri masuk dalam skala Medium Impact dan secara global berada pada posisi 35 dengan skor 5,07. Sementara itu negara Asia Tenggara lain yang berada pada skala medium ini adalah Myanmar yang berada di atas Indonesia, posisi 26 dengan skor 5,512.
Di Indonesia Sebenarnya Gimana Sih?
Umumnya orang Indonesia memahami aksi terorisme berkaitan dengan peledakan bom. Ketika mendengar kata teroris, maka otomatis yang ada di kepalanya adalah BOM. Benar memang faktanya seperti itu namun peledakan bom bunuh diri itu bukanlah pertanda adanya terorisme. Kita perlu mendalami soal ini.
“the threatened or actual use of illegal force and violence by a non?state actor to attain a political, economic, religious, or social goal through fear, coercion, or intimidation.”
Definisi Global Terrorism Index untuk terorisme
Jika kita masih melihat adanya intimidasi, paksaan, ketakutan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki tujuan politik, ekonomi, agama, dan tujuan sosial, berarti terorisme masih ada. Oh iya, catatan pentingnya, itu semua jika dilakukan oleh aktor bukan negara. Jadi kalau aktor representasi negara yang melakukan paksaan dan intimidasi, itu tidak disebut aksi terorisme.
GTI menganggap suatu kejadian dianggap ancaman terorisme jika mengantung 3 hal berikut:
- Tindakan kekerasan itu bertujuan mencapai politik, ekonomi, tujuan agama atau sosial.
- Tindakan kekerasan termasuk bukti niat untuk memaksa, mengintimidasi, atau menyampaikan ancaman ke masyarakat luas selain kepada korban langsung.
- Tindakan kekerasan berdasarkan hukum internasional tentang kemanusiaan.
Tak perlu mengerutkan dahi membaca 3 standari GTI di atas. Apa lagi kamu masih terlalu muda untuk punya kerutan dahi. Mending pahami dari yang sepele saja. Misalnya, kamu tahu kan pernah ada kejadian intimidasi di sebuah sekolah? Itu viral banget lho. Jika belum tahu, ini skrinsutan dan salah satu tautannya.
Meskipun kasus tersebut sudah selesai kita tetap perlu mengkritisi apakah itu hanya kejadian satu-satunya di Indonesia? Apakah mengumpulkan murid lalu bareng-bareng membacakan Pancasila menjamin sikap keberagamaan pengurus ROHIS akan berubah lebih pancasilais alias lebih toleran? Tak menjamin. Lagi pula ini jangan hanya dilihat dari sisi pengurusnya saja. Negara harus melihat juga dari pihak sekolah dan mentor Rohisnya.
Kenapa kesannya saya membesar-besarkan persoalan ini? Bro, saya ini pernah melakukan rekrutmen ke anak-anak Rohis pada zaman dulu. Cara mendidik mereka agar menjadi kader militan ya dimulai dengan mengubah mindset bahwa sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat Allah perlu dilawan. Bahkan jika posisi sosial kita lebih kuat, melakukan intimidasi kepada audiens perekrutan perlu dilakukan. Dalam bahasa media dan netizen adalah sikap intoleran gitu. Nah, berdasarkan pengalaman itulah saya menduga para pembina anak-anak ROHIS itu perlu diperiksa.
Yang jelas, tidak mungkin sekelompok gerakan teroris memulai perekrutannya dengan langsung mengajak melakukan bom konyol (bunuh diri). Tentu semua proses diawali dengan perubahan mindset. Prosesnya bisa juga memakai istilah hijrah, seperti hijrah pemikiran, hijrah sikap, hijrah tindakan. Jadi dalam konteks anak-anak ROHIS itu, aksi intimidatif mereka merupakan salah satu isyarat bahwa pembinaan aqidah di sana tidak baik-baik saja.
Banyak pengajian yang mewajibkan kaum muslimah mengenakan hijab, menutup aurat namun mereka tidak pernah melakukan paksaan dan intimidasi dalam berdakwah. Banyak koq yang dakwahnya damai-damai saja. Karena itu kejadian di Rohis Gemolong itu perlu menjadi perhatian serius. Janggan anggap enteng urusan intimidasi agama!
Baiklah, kita kembali lagi ke rilis Global Terrorism Index. Berdasarkan GTI, memang Indonesia berada pada posisi 35. Itu skor global ya. Kalau skor regional di Asia-Pasifik, Indonesia naik peringkat menjadi urutan ke-4 alias masuk dalam 5 besar negara yang memiliki ancaman terorisme.
Kita sudah sama-sama tahu bahwa kelompok yang kerap melakukan aksi teror sudah dipetakan dengan baik oleh POLRI. Mungkin intelijen negara juga punya pemetaan yang baik soal sebaran kelompok mereka. Tetapi anehnya seringkali para penjaga negara ini kecolongan. Mereka seolah-olah tidak khawatir akan ada masalah saat Wiranto (saat masih jadi menkopolhukam) ke Banten padahal mereka tahu bahwa jejaring Jamaah Ansharud Daulah (JAD) –yang makin sering disebut namanya– ada di sana. Dan mestinya mereka paham watak kelompok tersebut amat membenci aparat pemerintah yang mereka sebut Thagut. Tapi ya sudahlah ya. Anggap aja itu nasib sialnya Wiranto.
Bagi yang tertarik membaca rilis GTI 2019 silakan KLIK tombol download.
Leave a Reply